MENCOBA MEMAHAMI INDONESIA LAGI, Catatan Film Indonesia 2011 (2)

[ARSIP] Bagian terakhir catatan saya tentang Film Indonesia pada 2011. Seperti catatan-catatan sebelumnya untuk 2011, catatan ini pun dimuat dalam Rumahfilm.org, yang sekarang almarhum.

mata-tertutup_asimah_jajang

Pertama, sebuah pengakuan. Saya memasuki 2011 dengan rasa bosan setengah mati pada film. Rasa bosan ini sudah saya idap sejak pertengahan 2010-an. Seperti tak ada lagi yang saya tunggu dalam perfilman. Tak ada lagi yang bisa saya harap menggetarkan, kecuali sedikit –dan itu pun tak membuat saya ingin memburunya. Saya rasa, saya tak pernah kehilangan cinta saya pada film, tapi saya rasa, saya sedang berada di fase pasif dalam mencintai film.

Soal kenapa saya bosan pada film adalah soal lain. Barangkali itu bakal jadi subjek esai tersendiri. Lagipula, itu tak penting benar. Yang penting untuk catatan ini adalah kenyataan bahwa pada 2011 saya tak memburu banyak film Indonesia. Sebagian, karena saya menghabiskan separuh tahun itu di Jepang dan Thailand, dan baru pulang pertengahan Juni ke Jakarta, sehingga memang akses saya terhadap film Indonesia pada 2011 cukup terbatasi. Tapi, tanpa keterbatasan itu pun, rasanya saya memang sedang tak bersemangat berburu film Indonesia (atau film umumnya) di 2011. 

Toh dalam pasif saya itu, saya beruntung beberapa kali mendapat kesempatan untuk menonton cukup banyak film Indonesia. Ketika di akhir 2011 tahu-tahu saya terlibat dalam penjurian FFI, keberuntungan itu sungguh besar: saya mendapat kesempatan melihat (sebagian besar) film terbaik 2011, dan (sebagian) film-film buruknya. Maka, walau tak menonton semua film Indonesia yang diproduksi pada 2011 (dan, saya rasa, tak perlu –buat apa saya harus menonton Pocong Mandi Goyang Pinggul, Pelukan Janda Hantu Gerondong, atau L4 Lupus, misalnya?), saya merasa mendapat gambaran relatif utuh tentang rentang terbaik dan terburuk film Indonesia 2011.

Maka, saya jadi cukup percaya diri untuk menyusun daftar film Indonesia terbaik pada 2011. Tapi, sebelum itu, ada beberapa kesimpulan yang saya petik dari pengalaman menonton film Indonesia pada 2011.

 

Disfungsi Keluarga

Keluarga ternyata masih jadi sebuah pusat yang penting dalam film-film kiwari kita. Tapi, ada kesadaran kuat bahwa sedang terjadi pergeseran dalam fungsi keluarga pada manusia Indonesia masa kini. Pergeseran ini oleh sebagian dipandang sebagai ancaman, dan menerbitkan kehendak kuat untuk kembali pada keutuhan lembaga keluarga yang kuat. Sebagian lain, memandang bahwa disfungsi keluarga adalah kenyataan, dan seseorang harus bertahan seadanya dalam disfungsi tersebut.

catatan-harian-si-boy1

Sebuah film, Catatan Harian Si Boy, malah dengan tegas menerima disfungsi keluarga dengan memaknai ulang kata “keluarga”. Di satu titik dalam film itu, seorang tokohnya berucap bahwa keluarganya sendiri (dalam pengertian keluarga batih: ayah dan ibu, serta saudara, kandung) telah buyar, dan teman-teman bengkelnya itulah yang kini jadi keluarganya.

Film lain, kebanyakan, tak setegas itu. Lembaga keluarga, dengan segala persoalan ikutannya –seperti: pernikahan, tetap menjadi dambaan. Disfungsi adalah cobaan, tapi bukan tak bisa dihadapi. Dalam disfungsinya, lembaga keluarga masih dianggap tempat berlindung dari segala ancaman dari “luar”.

The Mirror Never Lies, misalnya, membawa kita pada sebuah keluarga berai di Timur Indonesia, yang tinggal di sebuah perkampungan laut. Alam jadi ancaman luar itu: alam merenggut Ayah/Suami, dan Ibu serta Anak yang tertinggal harus menjalani hidup dengan harapan samar. Lebih dari kesamaran harapan itu, kenyataannya adalah: mereka harus hidup dan mencoba bersahabat dengan Alam, Sang Alam yang telah merenggut Sang Ayah. Di sisi lain, sang Anak yang kesulitan menerima kehilangan Sang Ayah, akhirnya bisa menerima Ibu, dan mereka kembali menghadapi Alam/Hidup bersama sebagai sebuah keluarga.

Dalam Lovely Man, yang tak masuk dalam penilaian FFI 2011 karena belum diproses untuk sensor dan tak beredar di bioskop pada 2011 (rencananya, pada 2012), karut marut keluarga itu lebih ekstrem lagi. Kali ini, keluarga buyar bukan oleh ancaman dari luar. Sang Ayah dari sebuah keluarga kampung pergi ke kota dan mengubah jatidirinya, jadi banci. Cerita dimulai saat si Anak, seorang gadis berjilbab yang menyimpan masalahnya sendiri, ke Jakarta, hendak menjumpai sang Ayah masa kecilnya. Si Ayah telah mengubah gendernya, dan sebagai banci, ia melacur di pinggir jalan setiap malam. Keluarga lama telah buyar dalam film ini. Tapi, pada akhirnya, Ayah tetaplah Ayah. Dalam disfungsi, relasi keluarga tetap (didamba) bekerja.

Tak semua film kita, tentu, berani menatap pergeseran yang ada, disfungsi keluarga di dalam kenyataan kiwari, sebagai kenyataan yang bisa diterima. Banyak film kita yang masih menempatkan lembaga keluarga sebagai tempat berlindung utama dari ancaman-ancaman dari “luar”. Disfungsi keluarga, dengan demikian, menjadi sesuatu yang disesali, sebuah masalah yang harus diatasi.

Film-film dakwah yang membawa corak Islam kelas menengah atas Jakarta seperti Rindu Purnama dan Rumah Tanpa Jendela, misalnya, jelas menempatkan keluarga sebagai penyangga utama kehidupan para tokohnya. Dalam Rindu Purnama, tokoh utama pria adalah seorang lajang. Dan pilihan tokoh ini dalam menyikapi masalah anak jalanan berkelindan dengan pilihan siapa yang nanti akan jadi istrinya: di satu sisi, seorang anak direktur yang sangat kosmopolit tapi digambarkan sebagai ancaman bagi anak-anak jalanan; di sisi lain, guru para anak jalanan itu, cantik, dan berjilbab. Impian “keluarga sakinah” jelas mengintip di akhir kisah.

Walau bukan film dakwah kelas menengah, Surat Kecil Untuk Tuhan (SKUT), latar keluarga tokoh utamanya adalah juga keluarga Islam kelas menengah Jakarta yang nyaris tipikal (Si Ayah adalah ketua yayasan sebuah sekolah Islam kelas atas di Jakarta). Hanya saja, keluarga ini memiliki disfungsi: Ayah bercerai dengan Ibu. Kakak sulung jadi broken home, dan hidup berfoya-foya di “luar”. Ketika mereka menghadapi ancaman berupa kanker yang menimpa si Anak (bungsu), mereka menghadapinya sebagai keluarga yang (meng-)utuh kembali. Biar bagaimana, keluarga, dalam film ini, tetap dianggap benteng terakhir, terampuh, untuk menghadapi cobaan.

 

Suara-suara Lokal

Jika menelusuri film-film kita pada 2011, semakin tampak meruak kesadaran bahwa Indonesia bukan Jakarta saja. Suara-suara dari pinggir Indonesia yang jauh mulai bermunculan ke layar lebar kita –sesuatu yang pada 1990-an hingga 2000-an awal hanya dimunculkan oleh segelintir sineas saja (Garin Nugroho dan Aryo Danusiri, contohnya). Tapi, posisi Pusat tak selalu tergugat lewat kemunculan yang lokal di layar lebar kita itu. Malah, masih sering terjadi, yang Lokal hanya jadi penegas supremasi sang Pusat.

Film anak Lima Elang (Rudi Sudjarwo), misalnya. Baron, seorang anak Jakarta yang terpaksa pindah bersama keluarganya ke Kalimantan, dengan segan ikut kegiatan Pramuka di sekolah barunya. Pimpinan kelompoknya adalah Rusdi, anak lokal penuh semangat. Kelompok itu sendiri terdiri dari anak-anak yang sebetulnya punya keunggulan khas masing-masing –tapi keunggulan-keunggulan itu kurang mencerminkan lokalitas cerita.

5-elang-3

Dalam petualangan mereka di sebuah acara perkemahan, pengetahuan-pengetahuan lokal kelompok anak tersebut tak muncul, kecuali dalam bentuk mitos tentang penjaga hutan, yang tak terlalu menolong situasi yang mereka hadapi. Justru Baron, dengan segala inisiatif dan keenceran otaknya, yang berhasil membaca banyak tanda alam serta menggerakkan kelompoknya ke arah yang ia mau. Masing-masing anak punya peran, tapi Baronlah pusat masalah, sekaligus pusat penyelesaian masalah mereka.

Dari segi ini, tiga film Hanung Bramantyo, yakni ? (Tanda Tanya), Tendangan Dari Langit , dan Pengejar Angin, lebih konsisten untuk berkutat dengan permasalahan lokal dalam makna geopolitiknya: persoalan-persoalan yang tak terjadi di Jakarta, dan diselesaikan di daerah itu sendiri. Film ? (Tanda Tanya) di Semarang (walau, ini film Hanung di 2011 yang paling entah dalam hal tempat), Tendangan Dari Langit di Malang, dan Pengejar Angin di Lahat, Sumatera Barat.

Salah satu film yang saya tonton yang dengan kuat menampik Pusat, setidaknya secara simbolik (mungkin juga tak sengaja), adalah The Mirror Never Lies. Pusat hadir dalam sosok yang diperani Reza Rahardian, ceritanya seorang ilmuwan biologi. Abaikan dulu penggambaran kegiatan sainsnya yang sangat “bodoh” (bertanya pada penduduk lokal, tentang jenis lumba-lumba apa yang ada di laut situ –sesuatu yang bisa dilakukan dengan meng-google). Tokoh dari Jakarta ini hadir, tidak untuk menyelesaikan masalah. Malah, tokoh dari Jakarta ini menambah komplikasi hidup keluarga yang ia inapi.

Salah satu indikasi kuat kehadiran yang Pinggir, baik itu yang Lokal/Daerah atau pun masalah-masalah yang ada di kaum Pinggir Indonesia, adalah kehadiran aneka bahasa daerah yang lebih beragam, juga lebih nyaring, dalam cukup banyak film Indonesia 2011. Misalnya, kehadiran bahasa ngapak (bahasa Banyumasan dan Tegal yang medhok) yang sangat kuat dalam Sang Penari dan Mata Tertutup.

Kita bisa merujuk keterbukaan pada keragaman bahasa kita ini pada film-film Garin Nugroho, misalnya, yang sejak 1990-an gigih menampilkan keragaman Indonesia dalam berbagai ekspresi kedaerahannya. Tapi, keragaman bahasa dalam film kita yang terasa sangat kuat pada 2011 itu terasa punya kesegaran tersendiri: seperti ada suasana penemuan, dan ketakjuban, akan keanekaan bahasa di Indonesia.

Atau, mungkin juga ini kesan subjektif saya saja, karena terbuai oleh frekuensi atau kekerapan yang saya rasakan meningkat dalam hal penampilan bahasa-bahasa daerah di layar lebar kita itu. Toh, peningkatan kekerapan itu sendiri patut dicatat dan punya makna pentingnya sendiri.

 

Isu-isu Sosial

Setelah Reformasi 1998, setelah belenggu Negara atas kebebasan ekspresi dilepas, Saya sering heran atas minimnya film-film kita yang dengan sungguh-sungguh menatap, membicarakan, menawarkan pemikiran, pada masalah-masalah sosial-politik yang akut dalam sejarah serta kenyataan Indonesia. Film kita generasi 2000-an kebanyakan seolah masih berkutat pada kehendak eskapisme (lari dari kenyataan) dan asyik sendiri saja.

Pada 2011, isu-isu sosial terasa cukup kerap muncul di layar lebar kita. Tak semuanya berhasil diolah, atau melahirkan rangsang pemikiran yang berarti. Tapi, setidaknya, isu-isu itu dimunculkan.

Misalnya, isu masyarakat perbatasan di Kalimantan (yang sayangnya digarap dengan buruk) dalam Batas. Ini isu yang sungguh penting, dan sungguh baru dalam perfilman kita. Isu lain adalah isu keragaman beragama, yang dengan penuh teriak diangkat oleh ? (Tanda Tanya) karya Hanung Bramantyo. Sayang sekali, sekali lagi, isu yang penting dan mendesak ini, gagal dimasak.

tanda-tanya

Kegagalan ? (Tanda Tanya) buat saya adalah kelok cerita di akhir film yang menggambarkan salah satu tokoh antagonisnya, keturunan Cina, digambarkan masuk Islam. Dalam struktur kekisahan (naratif) film yang lazim di arusutama, bagian akhir film adalah resolusi: penyelesaian, kesimpulan, klimaks. Masuk Islamnya Hendra, anak keluarga Pak Tan, jadinya seakan memiliki fungsi kesimpulan dalam film ini –walau, memang tak jelas benar, kesimpulan apa?

Persoalan terbesar, masuk Islamnya Hendra sama sekali tak punya argumen. Jika ini dimaksudkan sebagai gambaran hidayah, konstruksi hidayah dalam film ini ganjil benar: setelah menghabiskan nyaris seluruh film menampilkan kebencian Hendra pada Islam, setelah rumah makan keluarganya diserbu massa Islam, setelah ayahnya wafat akibat serbuan itu, Hendra melihat buku 99 Asma Allah, dan tertarik memelajari Islam, hingga kemudian mengucap kalimat syahadat. Wah!

Ketakjelasan kesimpulan film ini bukan hasil dari keteguhan memegang prinsip “tanda tanya” sebagaimana yang dijudulkan. Sebaliknya, film ini tak tertarik untuk bersikukuh mencuatkan pertanyaan, malah lebih bersikukuh hendak memberi jawaban-jawaban. Nah, itulah soalnya: jawaban-jawaban yang ditawarkan tak ada yang meyakinkan. Kenapa?

Karena sifat jawaban-jawaban itu berkualitas makanan cepatsaji di waralaba hamburger atau ayam goreng impor. Untuk jenis persoalan yang diangkat –masalah keberagamaan, keragaman, dalam kemasyarakatan yang kompleks dan penuh ancaman kekerasan– pendekatan cepatsaji ini sungguh fatal.

Timbanglah bagian akhir itu: pada malam Natal, Soleh meninggal karena bom gereja; pada tahun baru, sebuah pasar dinamai “Pasar Soleh” untuk mengenang jasa Soleh. Hanya dalam lima hari (waktu film), kematian telah berubah menjadi happy ending, sang istri tersenyum ria melihat nama Soleh di gerbang pasar. Masalah hidup Soleh yang membenci Cina/Kristen, selesai dalam ledakan, dan film ini tak ingin kita kehilangan happy ending itu –walau ia bersifat cepatsaji belaka.

Tapi, Hanung patut dihargai karena keberaniannya mengangkat persoalan keberagamaan dan keragaman secara lantang. Dan memang, keberanian itu punya biaya sosial: Hanung dihujat, filmnya dianggap menyesatkan dan mencemarkan Islam, dan sebuah Ormas Islam mendemo pemutaran film ini di SCTV, dan SCTV pun tunduk pada tuntutan yang tak wajar itu. Maka, film ini pun lantas menjadi sketsa tentang betapa akutnya penyakit keberagamaan-yang-anti-keberagaman di negeri kita kini.

Dengan penghargaan pada keberanian Hanung tersebut, tetaplah bagi saya terasa bahwa Hanung lebih berhasil mengangkat isu sosial Indonesia dalam Tendangan Dari Langit. Keberhasilan yang tercapai karena pilihan topik yang lebih sahaja (“hanya” masalah anak kampung yang ingin bermain di klub sepakbola Malang), tapi berhasil memberi ruang bagi Hanung untuk berkomentar tentang banyak masalah di negeri kita kini.

Spektrum isu sosial yang diangkat dalam beberapa film kita di 2011 terasa semakin luas daripada masa sepuluh tahun pertama perfilman kita pasca-1998. Isu masyarakat perbatasan dan pelosok. Isu dagelan politik Pilkada. Isu peran media dalam kerusuhan yang memakan korban etnik Cina. Isu olahraga nasional. Isu budaya kemiskinan. Isu kemiskinan kota. Isu redefinisi sejarah kelahiran Orde Baru dan luka sejarah G 30 S. Isu keberagamaan dan keragaman. Isu fundamentalisme dan terorisme.

Walau, masih mengherankan saya: kok ya masih saja terlalu sedikit film kita yang menyentuh isu korupsi, atau isu-isu yang jadi duri dalam daging dalam kehidupan kebangsaan kita seperti masalah Lumpur Lapindo atau Perda Syariah. Toh, saya cukup senang: dengan memasuki isu-isu sosial itu, banyak film Indonesia kemudian menjadi peserta aktif sebuah percakapan penting di negeri kita, yakni percakapan untuk mencoba memahami kembali Indonesia kita ini.

 

Film Indonesia Terbaik 2011, Buat Saya

Saya tak mengamati film-film pendek, walau menonton beberapa –dan karenanya, ada satu film pendek masuk daftar ini. Masuknya film pendek tersebut ke daftar saya ini bukan diniatkan menjadi penilaian akan keadaan dunia film pendek Indonesia pada 2011, tapi lebih mengacu pada pengalaman sinematik yang saya alami sendiri. Dan memang, saya menyusun pilihan ini jelas berangkat dari pengalaman sinematik yang subjektif. Buat saya, inilah film-film yang jelas bicara apa, serta membuat saya tersentuh. Catatan lain: saya tak menonton Serbuan Maut (The Raid) yang saya duga akan sangat saya sukai. Tak apa. Saya masih bisa menyusun daftar semacam ini lagi di akhir 2012. J Nah, untuk 2011, berikut daftar film terbaik Indonesia menurut saya, diurut dari peringkat terbawah hingga peringkat pertama di akhir.

 

8. Kentut (Sutradara: Arya Kusumadewa)

kentut-header

Mengutip Krisnadi Yuliawan, pemred kami di Rumahfilm.org, film ini menggabungkan kelemahan Deddy Mizwar dan kelemahan Arya. Jadi, tak seperti kerjasama mereka sebelumnya, Identitas, yang berhasil memadukan kelebihan Deddy dan kelebihan Arya.

Deddy, di sini sebagai produser dan bintang utama, cenderung verbalistik dalam mengungkap kritik-kritik sosial di film-filmnya, sedemikian rupa sehingga kita selalu merasakan corak dakwah lisan yang kuat pada karya-karya itu. Arya, cenderung kasar dan keras dalam mengolah simbolisme dalam kritik-kritik sosial di film-filmnya.

Simbolisme Arya periode sebelum bekerja sama dengan Deddy (sebuah kerjasama yang tak disangka-sangka banyak orang) seperti dalam Novel Tanpa Huruf R sering dianggap sangat abstrak. Tapi jika kita perhatikan, simbolisme abstrak itu pun lahir akibat kekasaran serupa, bukan lahir dari sublimasi atau penalaran yang telaten –simbol-simbol yang berteriak lantang, “Hei, Saya Simbol!

Kerjasama Arya-Deddy memberi wadah tepat bagi kekasaran itu –Arya ternyata memang cocok untuk membuat satire. Kentut, yang diniatkan jadi logi kedua dalam trilogi Rumah Sakit dari Arya, adalah satire tentang politik/pilkada. Deddy Mizwar menjadi kandidat antagonis, seorang kaya yang gemar membual dan tampil serba berlebihan, dengan penalaran klenik yang merusak akalsehat.

Verbalisme satire politik ini sebetulnya bisa mengagumkan –di zaman represif Orba dulu. Dalam konteks kekaryaan di 2011, keberanian dan tema ini jadi agak basi (dagelan wakil rakyat dan partai-partai di televisi sudah lebih lucu dari lawakan Arya-Deddy ini), dan verbalisme film ini jadi sering terasa redundan, tak punya lagi daya sengat dan daya tonjok.

Arya dan penata kamera harus diacungi jempol karena sering berhasil memanfaatkan long take shot yang sering dipadu dengan teknik kamera bergerak untuk mencipta kekacauan suasana rumah sakit di film ini. Salah satu juri FFI 2011, Zeke Khasely, menunjukkan pada saya bahwa tata suara film ini juga cukup berhasil mencipta sebuah dunia yang penuh. Nyaris tak ada musik score di film ini, dan itu justru memberi poin pada berbagai riuh rendah percakapan satire film ini.

Sekalinya ada satu adegan bermusik, disusun sebagai bagian organik dari cerita: Deddy Mizwar menyanyikan lagu yang pernah dipopularkan Bing Slamet, Nurlela. Ini momen yang asoy dalam film penuh marah-marah ini.

 

7. Masih Bukan Cinta Biasa (Sutradara: Beni Setiawan)

masih-bukan-cinta-biasa1

Film ini, bagi saya, memikul beban sebagai sekuel. Apa yang cemerlang di film pertamanya, jadi kurang cerlang di film kedua ini. Film ini dibuka dengan adegan mirip Bukan Cinta Biasa: Tommy (Ferdy Taher), mantan rocker yang waktu muda bergaya hidup seks bebas, didatangi seorang remaja yang mengaku anaknya.

Kali ini, Tommy sudah membangun rumah tangga (resmi) dengan Lintang (Wulan Guritno) dan anak mereka, Nikita (Olivia Lubis Jensen). Di film pertama, Nikita yang datang dan membuyarkan hidup Tommy. Di film ini, yang datang adalah Vino (Axel Andaviar) yang bergaya ABG punk. Banyak karakter yang kuat berseliweran dalam film ini –sebagian besar, kelanjutan dari film pertama: Ustad Jepret, Band The Boxis yang “menolak tua”, dan Lintang si Jago Karate.

Beni, sutradara sekaligus penulis skenario film ini, juga berhasil mencipta beberapa adegan yang terhitung brilian sebagai humor. Misalnya, adegan Lintang menonton ceramah Ustad yang (sengaja) mirip AA Gym –adegan sederhana, tapi bisa membuat penonton ketawa berkepanjangan, karena berhasil dalam hal built up (membangun) kelucuan secara perlahan tapi jitu. Juga adegan “Jokowati”, yang sangat berhasil diwujudkan oleh pemeranan (akting) Ferdy.

Sayangnya, di banyak tempat, film ini tampak longgar dan terisi saat-saat yang tak perlu. Kerja kameranya pun relatif miskin.

Paling berharga dari film ini adalah kemampuannya memberi alternatif kuat bagi genre “film dakwah” atau “film religius” yang sejak Ayat-ayat Cinta marak di perfilman nasional kita. Masih Bukan Cinta Biasa menampik jadi film dakwah bercorak melodramatis-ideologis (dengan obsesi pada masalah cinta dan perjodohan) macam Ketika Cinta Bertasbih, atau jadi bercorak motivasional-moralistis (dengan tekanan pada nilai-nilai keberagamaan kelas menengah kota) macam Kun Fayakun atau Rumah Tanpa Jendela.

Masih Bukan Cinta Biasa mendakwahkan hal-hal yang lebih kongkret: keluarga sebagai rumah, shalat, sikap memaafkan, berhenti minum minuman keras, dsb. Pendekatan dakwahnya, walau tentu berdasarkan moralitas tertentu juga, tak moralistis, bukan pula lewat ceramah satu arah, tapi lewat humor yang jujur. Karakter macam Ustad Jepret hanya bisa lahir dari seorang sutradara/penulis yang paham benar jeroan Dunia Santri, sehingga bisa dengan santai memelesetkan sosok Kyai dengan cara itu.

Film ini berharga, karena menawarkan keberagamaan yang konkret dan rileks.

 

 6. Jakarta Maghrib (Sutradara: Salman Aristo)

jakarta-maghrib-2011-avi_snapshot_00-15-11_2012-05-28_23-10-50

Yang jelas, saya merasa karib dan nyambung dengan kelima sketsa Jakarta dalam film ini. Dari soal maghrib yang ternyata mengganggu hajat suami-istri, rumah di dalam gang yang sempit dan ribut, percakapan dengan marbot serta penjaga warung, orang mabuk yang azan, suasana kompleks yang saling tak kenal tetangga tapi kadang kesalingasingan itu jebol karena peristiwa sederhana, suasana di warnet pinggiran, percakapan soal karir, ego, dan pernikahan: semua kurang lebih pernah saya alami (saya pernah diimami seorang yang sedang mabuk, misalnya).

Yang menarik, terasa di beberapa tempat, betapa film ini juga jadi semacam curcol (curhat colongan) Salman terhadap industri film yang ia tatap dari dekat. Ada Curhat soal film horor, ada juga curhat soal pilihan individu dalam berkarir di sebuah industri yang belum jelas benar pranata-pranata industrialnya.

Film ini sahaja, dan menawarkan semacam pengukuhan bahwa film sederhana bisa jadi modus industri alternatif. Salman keukeuh filmnya yang dibuat dan diproses secara digital ini tidak di-blow up jadi film seluloid –dan dengan itu, dalam keadaan saat ini, meniadakan kesempatan diputar di Studio 21. Biaya pembuatan film ini tak sampai milyaran rupiah (apalagi tanpa keharusan jadi seluloid), tapi film ini bisa bicara lebih banyak dari kebanyakan film yang dibuat dengan standar minimal tiga miliar rupiah saat ini.

 

5. Tendangan Dari Langit (Sutradara: Hanung Bramantyo)

tendangan-dari-langit_highlight

Isu lokal juga bisa hadir dalam bentuk yang seolah bersih dari makna politis: peliknya soal sepak bola daerah dalam Tendangan Dari Langit, misalnya. Ternyata, soal sepak bola adalah soal bernegara juga: bagaimana bakat individual yang kebetulan berada di daerah kampung, bisa terjamin atau tersalurkan.

“Seolah bersih dari makna politis”, karena dengan cerita sesahaja sepak bola kampung dan sepak bola kota (yang bukan Jakarta) ini, Hanung malah dapat wadah yang tepat untuk sesekali nonjok persoalan Negara: rutuk Pak Darto, si Ayah, yang ringsek oleh rasa pahit ketika menghadapi bahwa harapan anaknya akan hancur seperti harapan dirinya sendiri dulu. Di negara ini, orang lebih makmur jadi maling daripada jadi olahragawan, begitu kurang lebih rutuk itu.

Tapi, film ini tak penuh beban, tak seluruhnya pahit. Malah, film ini ringan dan manis. Dari segi teknis bahasa visual, film ini lancar sekali. Memang, rasa manis itu sering terganggu oleh penataan musik yang terlalu ingar. Atau oleh hal-hal berlebihan seperti lampu stadion yang dimatikan saat Wahyu (Yosie Kristanto) dinyatakan punya masalah di lututnya, atau beberapa kebetulan yang dirancang untuk melancarkan nasib Wahyu di film ini.

Tapi, film ini tetap lancar meluncur. Penonton bisa asyik dengan pritil-pritil humor dan irama penyuntingan (editing) yang berderap lincah menuju klimaks. Suasana kampung tergarap dengan baik. Yang mengagumkan, Hanung bisa menata pertandingan kampung tetap terasa sebagai pertandingan kampung, dan berbeda dengan pertandingan tim kota Malang di akhir film. Menata adegan pertandingan sepak bola di stadion sendiri adalah sebuah capaian sukar, dan saya rasakan Hanung berhasil di situ.

Ini film hiburan yang hadir tanpa beban. Sesekali, sehat juga kita mendapatkan hiburan semacam ini.

 

 4. Lovely Man (Sutradara: Teddy Soeriaatmadja)

lovely_man

Walau di beberapa tempat, film ini masih terjebak menertawakan banci, tapi film ini mau memasuki cukup jauh dunia-dalam seorang banci. Ini salah satu film yang perlu ada, dan perlu kita tonton, untuk menambah kekayaan pemahamaan kita tentang Indonesia masa kini. Bayangkan: seorang banci, Saipul (Donny Damara), dicari anaknya dari kampung, dan anak itu berjilbab. Foto atau cuplikan mereka duduk berdua saja sudah menjadi pernyataan tentang kompleksitas.

Jelas, ini sebuah cerita tentang disfungsi keluarga. Terserta juga di film ini, isu-isu seperti soal kekerasan, pelacuran, seks di kalangan pelajar, dan dinamika moralitas di tengah masyarakat kota yang semakin kompleks (rumit). Struktur cerita sederhana saja, hanya perjalanan semalam suntuk sang banci/ayah dengan sang anak.

Gang, warung, pasar malam, rumah susun, dan pertanyaan-pertanyaan tentang pilihan hidup. Si ayah yang telah memilih/menerima kebanciannya, dan sedang akan berjalan lebih jauh lagi dengan operasi kelamin yang mahal. Si anak yang masih meraba-raba, bagaimana ia akan hidup nanti. Malam Jakarta dengan lelampuan dan jalanan sepi: mungkin saja ini tak sepenuhnya pertimbangan puitis, tapi pertimbangan praktis, agar syuting bisa lebih murah dan secara bergerilya.

Lovely Man memang dibuat secara semi-gerilya, dengan bujet sekitar 600 juta rupiah. Dibuat dengan kamera digital sederhana, film ini berhasil menampilkan gambar-gambar indah. Banyak close up aspek-aspek jalanan Jakarta yang memberi sensasi urban yang tak klise. Walau gambar-gambar indah itu memang belum jadi rangkaian imaji-padat-makna, setidaknya kita bisa merasakan sudut-sudut “lain” Jakarta, pemandangan malam yang sedap di mata.

Sayangnya, Teddy di beberapa tempat sering terjebak ke dalam verbalisme. Beberapa kali, terlontar kata-kata mutiara tentang hidup, khutbah tentang apa yang seharusnya dilakukan si Anak. Sang Ayah, tetaplah figur otoritatif sumber kebenaran hidup, pemberi jalan dan penunjuk “benar” dan “salah”. Disfungsi keluarga ini ternyata tetap menyiratkan fungsi juga. Bagus-bagus saja jika meyakini hal demikian. Masalahnya, di saat-saat penuh petuah itu, akting Donny Damara terlihat amat kendor.

Verbalisme itu juga mewujud dalam ilustrasi musiknya, yang kadang terasa jadi terlalu cerewet. Satu adegan yang berhasil mengawinkan musik dan gambar digugurkan oleh adegan lain dengan musik yang seperti mendesak ingin membangun suasana puitis. Orang sering lupa: yang puitis, tak bisa hadir dengan cara memaksa. Yang puitis, seringkali, hadir dari kearifan memilih kapan sesuatu dihadirkan dan kapan disembunyikan.

Betapa pun, ini film yang enak ditonton, dan perlu. Perkara cukup banyak soal seks diangkat di film ini, justru bagus. Seksualitas di film itu terasa dewasa, dan karenanya terasa segar. Kedewasaan macam ini yang kita perlukan saat ini, di tengah kemunafikan moral di satu sisi dan eksploitasi seks di sisi lain. Kita perlu membuka mata, bahwa mungkin saja seorang banci atau pelacur yang mulutnya kasar adalah seorang manusia berbudi, dan seorang berjilbab melakukan hubungan seks di luar nikah.

 

3. Rumah Babi (Sutradara: Alim Sudio)

rumah-babi

Film ini adalah bagian dari Fantastic Indonesian Short Film Competition (FISFIC) Volume 1. Rumah Babi terpilih jadi salah satu dari enam film pendek yang dimodali sepuluh juta rupiah untuk jadi finalis FISFIC setelah workshop dengan pengajar para sutradara profesional Indonesia yang cukup berpengalaman mencipta film horor, thriller, atau fantasi.

Alim Sudio sang sutradara, bersama Agus Kurniawan dan Harry Setiawan yang menulis cerita, serta awak mereka, jelas lumayan bingung. Sepuluh juta rupiah sedikit sekali. Kebolehan mencari dana tambahan tak mudah diterapkan. Tapi mereka berhasil merangkul sumberdaya dari lingkungan kreatif mereka, Eksotika Karmawibhangga (EKI) yang sebetulnya lebih banyak bergerak di seni pertunjukan.

Keberhasilan itu tercermin, misalnya, dari pilihan aktor utama mereka, Anwari Natari, kawan mereka di lingkaran EKI. Anwari sangat berhasil membawa film ini sebagai Darto, seorang wartawan dokumenter, yang harus balik ke lokasi tragedi kerusuhan di sebuah rumah jagal babi milik sebuah keluarga Cina yang pernah ia liput. Ia harus mewawancara para korban, dan menemukan sebuah rumah yang disaput duka, dan sesuatu yang lain. Sesuatu yang mengerikan.

Maka demikianlah: horor, demi horor meneror Darto. Ini film horor yang efektif. Film ini sangat berhasil mengerahkan daya artistik di setting tempat, properti ruang, gerak-gerik kamera, juga penataan pengadeganan maupun pemeranan, sehingga teror itu terasa mencekam. Dan perhatikan bagaimana para pembuat film ini menggunakan kamera dengan cerdas sebagai wahana horor dan tuturan visual yang kreatif.

Di bagian akhir, kamera menjadi bagian dari horor itu. Pertama, ia jadi pengungkap situasi horor yang dialami Darto saat datang di awal dan sepanjang film itu. Kedua, kamera menjadi sebuah pertanyaan penting tentang peran media dalam horor sebelum malam jahanam itu.

Perkosaan dan pembunuhan di “rumah babi” (kita bisa menduga, cerita ini merujuk pada kerusuhan di 1998) itu rupanya memang berbuntut panjang. Akhir film membuat saya tersentak: dalam beberapa detik adegan akhir, saya dihantam oleh pertanyaan yang selalu menghantui setiap jurnalis perang –yang semakin tajam sejak era Televisi. Pertanyaan tentang apa peran media dalam tragedi kekerasan yang mereka rekam?

FISFIC edisi awal ini, yang maujud jadi sebuah DVD kumpulan film pendek finalis kompetisi yang jadi bagian dari INAFFF (Indonesia International Fanstastic Film Festival) 2011. Ada film lain yang juga menarik di situ: Taksi (Sutradara: Arianjie AZ dan Nadia Yuliani). Itu juga sebuah film horor yang efektif, rapi, dengan penataan adegan, sinematografi, dan skenario yang cukup baik. Tapi, walau saya juga menikmati Taksi, saya menganggap Rumah Babi yang layak jadi salah satu film terpenting 2011.

Jadi, heranlah saya ketika Taksi yang dimenangkan para juri FISFIC. Saya dengar selentingan alasan dewan juri adalah mereka menganggap Taksi lebih punya “daya jual” di ajang internasional. Kalau benar alasannya itu, saya makin bingung. Rumah Babi adalah sebuah film horor yang sungguh beres, sekaligus berhasil bicara sesuatu tentang Indonesia kita saat ini. Bagi saya, film ini justru akan bisa bicara banyak tentang Indonesia, di dunia internasional.

 

2. Sang Penari (Sutradara: Ifa Isfansyah)

sang-penari-3

Tak pelak, ini salah satu film terpenting kita sesudah 1998. Fakta bahwa film ini adalah film arusutama Indonesia yang pertama menggambarkan adanya kamp tahanan rahasia militer Indonesia bagi para tersangka PKI dan bahkan terlibat dalam pembantaian para anggota PKI, adalah cukup dalam memaknai pentingnya film ini.

Diangkat dari salah satu novel terpenting Indonesia, Ronggeng Dukuh Paruk, film ini menjadi anak zamannya. Sang Penari memilih untuk menafsir cerita, juga sejarah itu, dalam posisi sebagai generasi kiwari. Ini mengandung risiko. Bukan, bukan risiko politik seperti yang dihadapi Ahmad Tohari, sang novelis, saat menulis-ulang sejarah Orba dari sudut pandang yang terpinggir dan tertindas.

Risiko para pembuat film Sang Penari adalah beban estetik untuk menemukan cara terbaik dalam melakukan perlawanan terhadap lupa: di satu sisi, tragedi sejarah itu perlu diungkap apa adanya, dengan segala kerumitannya; di sisi lain, film ini juga harus bicara dalam logika yang mudah dipahami oleh generasi penonton Indonesia saat ini, yang kadung lahir dan dibesarkan dalam kelupaan akut atas tragedi tersebut.

Bagaimana film ini bisa memasuki sebuah era gelap yang sampai kini belum mendapatkan resolusinya di negeri ini? Era ketika jutaan orang dibantai dengan kejam, dan sampai sekarang tak satu pun dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah modern tersebut.

(Malah, sampai kini, jejak kebijakan Soeharto yang menggambarkan PKI sebagai momok dan monster untuk membenarkan pembantaian itu masih meruak ke dalam aksi-aksi Ormas keagamaan tertentu yang semena-mena melakukan gerakan “anti-komunis” yang sungguh meresahkan.)

Dipotret dalam konteks itu, jelas Sang Penari harus menghadapi risiko bakal tak memuaskan banyak pihak. Belum-belum, judulnya saja sudah digugat (“Kok, ‘Sang Penari‘? Kenapa bukan ‘Sang Ronggeng‘ –mau menekan budaya lokal, ya?”). Lalu, banyak yang hypercritical mengenai penggambaran tragedi PKI dengan sikap merasa lebih tahu tentang soal sejarah PKI dan Orba dari para pembuat film ini. Dan mungkin saja, para pembuat film ini memang bekerja dalam berbagai keterbatasan pengetahuan sejarah.

Tapi, dalam keterbatasan itu, film ini masih bisa lahir dengan sebuah visi yang cukup kuat. Pilihan untuk mengambil sudut pandang personal (sudut pandang Rasus dan Srintil) terhadap sejarah dan luka politik yang besar menganga bak lubang hitam itu pun layak diberi jempol. Setidaknya, itu sebuah pilihan yang lebih tepat ketimbang Gie (sutradara: Riri Riza) yang bimbang apa hendak jadi kisah personal Soe Hok Gie atau jadi sebuah epik sejarah ala Hollywood yang membutuhkan sosok pahlawan-individual sebagai penghela sejarah.

Film ini tak sepenuhnya berhasil meredefinisi PKI dan ABRI –PKI, sebagai organisasi politik maupun sebagai ideologi, masih ditempatkan sebagai sebuah kekuatan besar dari luar yang menjadi biang kerok kehancuran Dukuh Paruk (=Indonesia?). Militer pun masih tergambar sebagai sosok penegak ketertiban –walau “sebagian” militer itu memang degil dan melakukan pembantaian serta penyiksaan sadis. Tapi, sekali lagi, film mana yang pernah menggambarkan adanya kamp penyiksaan rahasia itu?

Perlu saya catatkan juga di sini, beberapa percakapan saat proses penjurian FFI 2011. Sinematografi, misalnya. Rupanya, pertimbangan komite nominasi bidang sinematografi justru menganggap bahwa secara teknis, sinematografi Sang Penari tak konsisten. Walau niatan eksplorasi teknis (dengan pendekatan kamera goyah) sinematografi Sang Penari dihargai, tapi keutuhan capaian teknis rupanya memang belum sampai.

Seni pemeranan juga praktis tak optimal. Walau Landung bermain kuat, tapi Slamet Rahardjo gagal tampil meyakinkan. Prisia Nasution, saat menjadi ronggeng, terasa kurang lepas –bandingkan dengan Happy Salma yang hanya tampil sejenak di awal film, tapi langsung tertancap dalam ingatan penonton sebagai ronggeng yang seksi (seolah, jika kita ambil istilah Dukuh Paruk sendiri, memang benar ia mendapat indang). Banyak karakter di film ini tampil teatrikal atau karikatural. Termasuk, Oka Antara sebagai Rasus –ini sungguh tak menguntungkan Oka di ajang FFI kemarin.

Saya juga memerhatikan bahwa banyak penonton bioskop (di Jakarta) membawa pandangan tak simpatik, apalagi empatik, terhadap tradisi ronggeng seusai menonton film ini. Kemungkinan karena gambaran seksualitas ronggeng di film ini sebagai sesuatu sepenuhnya menindas perempuan. Mungkinkah ini karena film ini memang tak tertarik menukik lebih jauh ke dalam aspek spiritual tradisi ronggeng?

Semua kekurangan itu tak meluruhkan kesan umum saya bahwa Sang Penari telah bicara sesuatu pada penonton film kita di era ini. Sesuatu yang penting: sebuah langkah kecil untuk sebuah pekerjaan besar merombak kesadaran atas sejarah kelahiran Orba. Bahwa kelahiran Orba telah memakan korban-korban manusia yang tak terkirakan, dan belum termaafkan karena masih terus saja berusaha dilupakan/diabaikan.

Yang jadi soal kemudian: ternyata, film penting dan ditembak ke pasar arusutama ini tak mendapat jumlah penonton yang memadai (hanya di kisaran 100 ribuan penonton). Wah!

 

1. Mata Tertutup (Sutradara: Garin Nugroho)

592x342-mata-tertutup-film-antiradikalisme-ala-garin-nugroho-130320p

Dengan gaya khas, Garin di pembukaan premiere film ini di Blitz Megaplex Grand Indonesia, Jakarta, berkata,”Inilah film penting yang belum pernah dibuat!” Anda boleh anggap dakuan Garin itu sebuah bual lebay. Tapi, menonton film itu kemudian, saya jadi bisa percaya bahwa mungkin benar juga dakuan itu –sampai titik tertentu.

Film ini adalah film Indonesia yang paling tegas anti-fundamentalisme Islam dalam bentuk gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Film ini setegas omongan Abdullah Syafii Maarif yang menyatakan bahwa fundamentalisme Islam yang melakukan teror dan aksi pemboman adalah sebuah aksi pembajakan Islam. Film ini memang sebuah proyek pesanan dari Syafii Maarif Institute, dalam rangka melawan fundamentalisme Islam tersebut.

Bukan berarti, sikap membentur “kepala-lawan-kepala” (head to head) film ini adalah hasil pesanan pemberi proyek. Dirajut dari laporan penelitian Syafii Maarif Institute tentang NII, film ini menggambarkan sosok (calon) pelaku bom bunuh diri serta penculik dalam sistem rekrut NII, serta seorang ibu yang anak perempuannya korban penculikan itu. Semuanya tak stereotipikal.

Lebih dari tak stereotipikal, film ini terasa benar ada di dalam Indonesia. Salah seorang (calon) pembom gemar menyanyikan lagu-lagu pop dari Ungu atau Melly Guslow yang ia terjemah dalam bahasa ngapak Banyumasan. Seorang gadis anggota NII yang bersemangat menjadikan kolom Catatan Pinggir dari Goenawan Mohamad sebagai ilham untuk menguatkan “perjuangannya”. Seorang ibu Padang yang sibuk mencari anaknya yang terlibat NII memarahi anak jalanan dan mengantarnya pulang dari bis tempat anak itu ngamen.

Itu pritil-pritil yang seolah tak penting (seolah tak menyumbang pada “struktur naratif”, jika kita pakai pakem naratif film yang lazim), tapi menyumbang rasa otentik bahwa kita sedang berada dalam sebuah masalah keindonesiaan. Tak ada dramatisasi berlebihan. Dan sejalan dengan itu, tak ada penciptaan imaji-imaji yang glossy. Film ini meluruhkan kehendak memfilter kenyataan untuk jadi kekisahan yang enak ditonton.

Film ini juga tak berangkat dari kesimpulan-kesimpulan yang sudah rapi dan siap-saji. Walau sejak awal jelas film ini antifundamentalisme Islam, tapi ia memelihara kesadaran bahwa fundamentalisme dan terorisme atas nama Islam muncul karena adanya masalah yang lebih besar: ketakadilan. Film ini tegas bersikap, tapi berhasil tak mengabaikan kompleksitas. Sebagaimana hidup itu sendiri adalah sebuah kompleksitas. Maka, Mata Tertutup pun tak hendak tampil rapi.

Mata Tertutup di-syut selama sembilan hari. Lokasi syutingnya di sekitar rumah Garin sendiri. Malah, adegan sumpah setia pengikut NII yang penuh teriakan Allahu Akbar sempat membuat warga kampung sekitar rumah Garin terjaga semalam suntuk, karena was-was apa benar ada NII di kampung mereka? Gaya penyutradaraan adalah ketoprakan, yakni tanpa skenario, hanya sinopsis peristiwa dan keadaan di setiap adegan.

Semua itu segaris belaka dengan pendekatan sinematografinya yang serba tak rapi. Akan meleset jika menilai film ini secara konservatif, hanya berdasarkan konvensi-konvensi “film baik” yang telah mapan. Film ini hendak meluruhkan estetisasi adegan dan gambar. Ia hendak mendekati kenyataan sedekat mungkin. Model gambar video ala kamera kondangan jadi logis: film ini tak hendak “melukis” dengan kamera, ia semata hendak mendudukkan kamera di depan kejadian.

Pendekatan ini bukan tanpa preseden. Saya teringat Stories From The North dan Agrarian Utopia karya Urophong Raksasad dari Thailand, misalnya. Atau Ten dari Abbas Kiorestami. Atau karya Tan Chui Mui, Love Conquers All. Atau Saia dari Djenar Maisa Ayu. (Sengaja saya dropping names begini, supaya Anda yang belum pernah nonton film-film itu jadi penasaran. J) Pendekatan ini dipilih oleh Garin, buat saya, secara jitu justru karena film ini ingin mendekati persoalan musykil tersebut tanpa tedeng aling-aling.

Dan sesudah menonton film ini, idealnya, terjadi percakapan. Mata Tertutup memang adalah sebuah urun percakapan, sekaligus sebuah pemantik diskusi. Isu yang diangkat Mata Tertutup terlalu penting untuk diabaikan, bahkan hingga lima tahun ke depan. Mungkin lebih penting daripada siapa presiden RI 2014. ***