Noktah Merah Perkawinan: EMOSI-EMOSI RAPI DI RUANG-RUANG BORJUIS

Pada satu adegan di awal, ketika babak pertama konflik antara Gilang dan Ambar disajikan kepada penonton, sudut pandang kamera dan blocking plus ruang membuat imaji simetris nyaris sempurna. Pada babak ketiga konflik mereka, ada adegan Gilang berlari di samping mobil Ambar, dan lagi-lagi tersaji imaji simetris. Keduanya indikasi adanya gagasan bahwa konflik rumah tangga di film ini bisa disajikan dengan rapi, terancang baik, dan terukur. Dan sedap dilihat penonton.

Kerapian itu bukan cuma pada imaji-imaji simetris, tapi juga pada pilihan kapan kamera berdiri stabil, kapan bergerak dan goyah. Ketika emosi sedang tertahan, atau masih di tahap build up, kamera stabil. Ketika emosi meledak, kamera goyah dan steady cam mengambil alih.

Tata cahaya dan ruang-ruang film juga menggambarkan betapa konflik itu ada dalam sebuah gelembung dunia resik borjuis metropolis Jakarta Raya. Three points light dengan *fill light* yang royal, yang selalu melunakkan bayangan pada wajah dan tubuh yang tertangkap kamera. Ini memang “penyakit umum” di banyak film Indonesia di era 2000-an ke kini: dunia yang selalu terang, seperti diorama.

Dan tubuh-tubuh itu selalu bergerak, dan meledakkan emosi di ruang-ruang nyaman yang memungkinkan ekspresi emosi maksimal: kamar dan taman rumah besar dengan arsitektur ala AMI, pekarangan rumah indies, kafe-kafe, mobil pribadi, ruang penasihat perkawinan, sekolah swasta yang besar, kantor pribadi, KRL yang sedang tak padat. Ini adalah ruang-ruang ketika ibu yang terlambat menjemput anaknya di sekolah dengan mobil pribadi atau istri merasa dilibatkan atau tidak dalam keputusan suami dan suami tak mampu membicarakan masalah bersama atau Yuli bisa memberi kenyamanan pada Gilang saat Gilang berkonflik dengan istrinya adalah drama eksistensial nan besar.

Walau cerita menutur betapa banyak emosi terpendam, pada akhirnya semua emosi itu bisa diartikulasikan dalam ruang-ruang aman itu, dalam dialog-dialog rapi. Saya memuji skenario yang menahan diri tak terjebak hasrat berpetuah atau berkata-kata mutiara (kecuali sedikit di beberapa tempat, mis.: adegan di kantor pengadilan agama Jakarta Selatan).

Tapi, film ini, seperti kebanyakan film drama Indonesia, masih tak beranjak dari konsep-konsep abstrak seperti “cinta” dan “bahagia”. Juga, film ini tak beranjak dari idealisasi konsep keluarga heteronormatif-monogamis, yang menempatkan kebahagiaan tertinggi hanya dalam konstruksi pernikahan demikian. Memang, film ini seakan menawarkan pula ada opsi “bahagia” di luar lembaga pernikahan, seperti dipapar sang penasihat pernikahan. Tapi, poin utama opsi itu adalah bahwa “kita” selalu punya opsi memilih bentuk bahagia. Ada yang bahagia dengan seumur hidup mengupayakan pernikahan bertahan, ada yang bahagia dengan berpisah. Nah, Gilang dan Ambar adalah tipe yang merana dalam memilih berpisah. Tapi mereka selalu punya opsi bahagia. Masalah terbesar mereka adalah memastikan apa dan bagaimana mereka akan bahagia.

Kehadiran perempuan lain, Yuli, adalah penegas konstruksi heteronormatif itu. Dia yang jatuh cinta pada Gilang, dengan sendirinya (given) menjadi masalah sekaligus merasa ber(ma)salah. Dia tidak “jahat” (lagi, sebuah konsep abstrak). Dia hanya jatuh cinta pada orang yang “salah”.

Tapi apa itu “jatuh cinta” bagi Yuli, itu tak digali. Saya sebagai penonton hanya melihat, Yuli menemukan kenyamanan pada Gilang, dan mikir, ya iya lah, wong pacarnya arogan begitu. Lagian, Gilang/Oka Antara ganteng betul! 😁 Begitu juga apa itu “cinta” pada Ambar (Marsha Timothy) –ketika dia mengucap, “Aku terlalu mencintaimu”?

Kita diminta menerima saja, bahwa (1) ya, ini soal Ambar “terlalu mencintai” Gilang, sedang Yuli “jatuh cinta pada orang yang salah”, dan (2) wadah terbaik bagi cinta dan kebahagiaan adalah pernikahan.

Sosok Yuli sendiri tumbuh jadi sosok perempuan yang tak punya daya dalam hubungan-hubungannya. Yuli selalu menyesuaikan diri dengan keinginan pacarnya, dan keputusan status pacaran mereka pun ditentukan oleh pacarnya. Tak ada negosiasi, hanya diberitahu dan menerima. Beda dengan Ambar yang selalu menegosiasikan relasinya dengan Gilang. Saat Yuli jatuh cinta pada Gilang, pola relasi serupa pun berulang: Yuli selalu menyesuaikan diri pada Gilang, termasuk ketika Gilang tetap mencintai Ambar.

Mungkin peniadaan daya Yuli penting bagi film ini agar tak ada ruang bagi penonton untuk memandang Yuli sebagai “pelakor”. Dalam iklim medsos kini, masyarakat kelas menengah kota di Indonesia, khususnya di Jakarta (kelompok utama pasar film Indonesia) sangat puritan dalam menghakimi “pelakor”. Yuli, bukan pelakor. Dia hanya perempuan yang salah karena membiarkan perasaannya pada suami orang tumbuh.

Tak ada lakon selingkuh dalam film tentang cinta segi tiga ini, hanya ada kesalahpahaman antara mereka bertiga. Walau narasi film dituntun oleh curhat Yuli pada penasihat pernikahan Ambar (Ayu Azhari, pemeran Ambar di sinetron NOKTAH MERAH) yang ternyata tante Yuli, Yuli sendiri hanya pelengkap penderita drama cinta Gilang dan Ambar.

Upaya keras film ini untuk tak membuat Yuli jadi sosok pelakor adalah indikasi utama tentang dominannya idealisasi keluarga heteronormatif-monogamis dalam film ini. Hal ini membuat bahan drama film ini tipis saja. Peluang drama lain yang menarik, relasi pasangan itu dengan mertua masing-masing, tidak dikembangkan macam DI BALIK KELAMBU (Teguh Karya, 1983) atau SEPARATION (Asghar Farhadi, 2011). Masalah itu hanya jadi latar, atau pelatuk percakapan tentang drama utama: apakah Gilang dan Ambar bahagia dalam pernikahan mereka yang telah 11 tahun dan dua anak. Aspirasinya memang MARRIAGE STORY (Noah Baumbach, 2019).

Bahan drama di seri sinetron NOKTAH MERAH PERKAWINAN (77 episode, 1996-1998) lebih tebal dari film ini. Tapi, tentu penonton bisa bilang, ya jangan dibandingkan dong, itu sinetron punya rentang durasi panjang untuk mengulik kompleksitas drama rumah tangga. Poin saya bukan soal apa film ini harus mengulik semua bahan drama rumah tangga, tapi soal perhatian utama pada apa dari konflik pernikahan. Pilihan film ini adalah pada bahan abstrak dan tipis tentang bagaimana pasangan heteronormatif kelas menengah kota bisa bahagia apabila mereka punya masalah berkomunikasi.

Film ini memang film “ngomong”. Bukan hanya plot dibangun dari percakapan-percakapan, malah percakapan rupanya dipercaya benar sebagai jalan keluar. Konflik terjadi karena ketakmampuan membicarakan masalah berdua, dan konflik diatasi lewat kesediaan membicarakan masalah setiap tokoh satu sama lain. Masalah terjadi ketika Gilang dan Ambar membicarakan masalah mereka pada orang lain, tapi tidak antara mereka sendiri. Masalah selesai ketika Gilang membicarakan perasaannya pada Ambar, dan ketika Yuli membicarakan perasaannya pada Ambar.

Konstruksi kepercayaan ini menentukan pendekatan sinematiknya. Mau tak mau, dialog jadi tumpuan utama, dan mau tak mau, seni pemeranan (akting –bahasa apa pula, “akting”?) jadi primadona. Para pemeran dituntut mampu menampilkan emosi-emosi puncak (menangis, berteriak, berbisik dengan suara tergetar) secara meyakinkan. Oka dan Marsha, juga Sheila Dara Aisha, memang tampil baik dalam skema seni pemeranan jenis ini di sini.

Seperti kelaziman di film-film arusutama Hollywood, Korea Selatan, India, dan Indonesia, musik jadi instrumen utama penebal emosi dalam cerita. Scoring/iringan musik terasa merajalela (pervasive), bersikeras menuntun (mendikte?) emosi penonton. Editing dengan baik melayani kehendak melodramatik film ini, dan di beberapa tempat sukarela tunduk pada rajalela musik pengiring. Jumpcut di adegan KRL sepulang Gilang dan Ayu dari Bogor memberi efek manis jatuh cinta.

Film ini praktis tak menawarkan perspektif kritis terhadap lembaga pernikahan, apalagi subversi. Film ini mengukuhkan idealisasi lembaga pernikahan heteronormatif-monogamis. Ada sedikit pengukuhan juga atas posisi lelaki sebagai pusat, penentu kebahagiaan perempuan.

Lalu, kenapa film ini begitu dipuja-puji di Letterboxd maupun akun-akun “sinefil” di medsos? Walau, ternyata film ini tak terlalu berhasil di pasaran: hanya di bawah 120 ribu penonton.

Saya kira, bukan sekadar karena kriya film ini, yang membuat puja-puji itu muncul. Yang banyak berulang, ungkapan pujian pada tampilan drama film ini dan ungkapan “wah, relate banget”. Film ini seakan memberi afirmasi/pengukuhan juga bagi para penontonnya. Afirmasi apa? Afirmasi atas nilai-nilai konservatif penonton atas lembaga pernikahan di Indonesia?

Atau mungkin film ini jadi getar-balik (resonansi) atas damba penonton kita mengenai betapa bicara-bicara bisa menyelesaikan konflik-konflik kita? ***

Noktah Merah Perkawinan (2022). Sutradara: Sabrina Rochelle Kalangie. Penulis: Titien Wattimena dan Sabrina Richelle Kalangi. Pemeran: Marsha Timothy, Oka Antara, Sheila Dara Aisha, Ayu Azhari. Produser: Gope T. Samtani. Produksi: Rapi Films. Durasi: 119 menit.

Tinggalkan komentar