Apa Jang Kau Tjari, Palupi? ILUSI KEMODERNAN, ILUSI CINTA

#100FilmIndonesiaTerbaik

Sinopsis

Haidar adalah seorang pengarang yang lurus dalam idealismenya, tapi ini cerita tentang istrinya yang kemudian pergi, Palupi. Perempuan itu, Palupi (Farida Sjuman/Farida Feisol) bosan melihat wajah suaminya tiap hari di rumah 4 X 4 (meter). Dia minta Haidar hubungi kawannya, sutradara film idealis, Chalil (Pietrajaya Burnama). Palupi ingin main film. Dan ia pun jadi bintang, di usia telat, menurut masyarakat. Film pertamanya, dimainkan bersama Bambang Irawan, membuatnya berkenalan dengan seorang pengusaha naik daun, Sugito (Aedy Moward). Sosok Sugito gemar perempuan, merayu gigih Palupi, hingga luluh dan pergi dari Haidar. Palupi tinggal di paviliun rumah besar Sugito. Chalil mengamati, memperingatkan, dan kecewa pada pilihan Palupi, berulangkali bertanya, Apa yang kau cari? Palupi menemui kenyataan, Sugito mencari yang lebih muda. Palupi minta Chalil menolongnya, ia ingin main film lagi agar tetap popular.

 

Bisa jadi film ini dianggap sebagai seksis. Dalam film ini, para lelaki menjadi sumber-sumber kebenaran. Setidaknya, sumber-sumber kepastian. Sementara Palupi, tokoh utama, perempuan, adalah sumur keraguan dan penuh angan-angan. Tokoh perempuan lain dalam film ini kebanyakan merasa pasti dalam bentuk negatif: pasrah atas posisi pelengkap para lelaki kuat, para lelaki penentu dunia. Sedang ada satu sosok perempuan diidealkan, dan dia bisu. Bisu dan hanya mengabdi. Dan cantik sekali (dimainkan oleh Widyawati).

Tentu saja film ini, atau pembuatnya –Asrul Sani (sutradara & penulis skenario, menulis bersama Satyagraha Hoerip, seorang penulis cerpen cemerlang yang boleh dibilang kurang dihargai karena dianggap terlalu verbalistik dan intelektual), adalah anak zaman. Aspek “seksis”, jika kita sepakat istilah ini, adalah bagian tak terhindarkan sebuah konstruksi kenyataan di saat konsepsi dan kelahiran film ini. Film ini lebih tepat kita pandang sedang membicarakan sebuah soal genting saat itu: manusia Indonesia yang harus berkutat dengan janji-janji kemakmuran dan angan-angan menjadi lebih modern.

Dalam konteks itu pun, bahkan jika kita tengok aspek “seksis” film ini, akan kita jumpai semacam sinisme dan kekalutan kritis terhadap konstruksi kenyataan yang ada. Mari kita lampaui dulu soal yang bisa diperdebatkan ini, dan bicara soal yang rupanya genting itu: ilusi-ilusi kemodernan.

Apa Jang Kau Tjari, Palupi? dibuat pada 1969. Kekacauan politik berdarah 1965 telah mereda. Orde Lama berganti Orde Baru, dengan masalah-masalah baru. Dalam sebuah adegan kecil, tapi jadi penanda zaman, Sugito sang pebisnis kakap yang gemar perempuan, mengubah coretan protes di papan nama perusahaannya, dari “Sugito Orde Lama” jadi “Sugito Orde Baru”.

Orde Lama ditandai hiruk-pikuk kompetisi ideologi, dengan tiga narasi besar bertarung dalam seluruh arena hidup: Nasionalisme, Komunisme, dan Agama (yakni, Islam). Kata dan tema yang mendominasi adalah “revolusi”, “kolonialisme”, dan berbagai varian mereka. Di puncak kompetisi ideologi itu, 1960-1965, berbareng tibanya krisis ekonomi dan ketakpuasan besar atas kuasa Bung Karno yang terlalu lama dan terlalu memusat, muncul kasus Manifes Kebudayaan.

Para seniman dan intelektual yang menandatangani “Manikebu” (istilah ngenyek yang kasar dari para tokoh Lekra –lembaga kebudayaan di bawah PKI) menghasung estetika “humanisme universal” dan menjunjung tinggi suara individual. Mereka jadi pariah, diserang Lekra sebagai kontra-revolusi, malah dilarang kerja oleh Negara. “Individualisme” jadi kata kotor, sebagaimana “humanisme universal”.

Asrul Sani, bersama Usmar Ismail dan Jamaludin Malik, ada di segi lain prisma ideologi itu. Mereka, sebagai pembuat film, bergabung dengan Nahdhatul Ulama, ormas Islam terbesar saingan PKI, dan membentuk Lesbumi untuk beradu ideologi dalam kebudayaan dan kesenian dengan Lekra. Asrul Sani, kita tahu, telah lebih dulu mencuat sebagai penyair dan esais modernis bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin.

Pada 1969, keadaan telah berjungkir total. Soeharto telah mengambil alih kekuasaan, PKI dibasmi, mayat-mayat disapu ke bawah karpet politik, Negara Orde Baru memperlakukan kata “revolusi” sebagai kata kotor serta berlagak pilon pada kata “kolonialisme”. Sedang “humanisme universal” jadi estetika primadona, “realisme sosialis” yang diidentikkan sebagai estetika resmi Lekra jadi ide haram. Ada pun “individualisme”, negara dan masyarakat Orba menerima dengan malu-malu kucing. Dalam retorika, “individualisme” dicaci, tapi dalam keseharian, apalagi dalam praktik kesenian, individualisme mencuat.

Film ini tepat di tengah pergeseran kultural itu. Film ini modernis tothok. Film ini dimulai dengan credit title yang dilatari foto close up wajah Palupi. Sebuah pernyataan tentang individualitas yang sangat langsung. Lalu, close up Palupi di dalam gelap, merokok. Rupanya menonton purwarupa film terbaru yang ia bintangi, bersama Chalil dan produser. Komentar produser bahwa Palupi di layar tampak telah tua, dan minta filmnya dirombak, dijawab oleh suara batin Palupi. Suara gelisah, yang menginformasikan cerita dan tema. Tapi, juga, sebuah suara individual.

Susunan filmnya sendiri, baik struktur cerita, dialog-dialog, maupun susunan adegan dan gambar, penyuntingan gambar dan suara, menampakkan sebuah kesadaran tinggi akan bentuk. Penciptaan adegan, penempatan kamera, bukan sepenuhnya untuk menciptakan ulang kenyataan selayak realisme klasik, tapi lebih untuk menggarisbawahi percakapan (discourse) tentang sebuah dunia kenyataan yang telah diabstraksi. Yang hadir bukanlah percakapan tentang pengalaman-pengalaman konkret dan sehari-hari, melainkan percakapan tentang gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran, tentang manusia dan maknanya.

Tengoklah, misalnya, adegan yang buat saya sangat mengesankan ditilik dari konteks politik waktu itu: Sugito menerangkan tiga tipe tamu di pestanya kepada Chalil. Golongan pertama, kata Sugito, “sesama pengusaha”. Mereka bisa “senyum profesional”, memuji-muji sambil menunggu kesempatan menggorok leher saya, kata Sugito tertawa. Golongan kedua, “pembesar pemerintahan dan orang politik”. Mereka, kata Sugito, seperti “kembang semusim” –disayang-sayang, dipuji-puji, selama masih berkuasa. Ongkosnya mahal, kata Sugito, tapi itu bisa dianggap modal saja. Golongan ketiga adalah para “benalu”. Mereka, kata Sugito, “berkantor di kantong saya”.

Ketika Chalil bertanya, lantas saya termasuk golongan apa, Sugito menjawab bahwa itu belum ditetapkan. Tapi, Sugito terus terang, ia menganggap Chalil golongan yang berbahaya. Chalil, menurut Sugito, termasuk golongan yang memiliki harga diri terlalu besar. Orang macam begini dianggap Sugito terlalu berbahaya karena tak bisa ditetapkan berapa harganya.

Adegan pesta ini adalah sebuah abstraksi kritik sosial Asrul pada perkembangan sosial-politik-kultural Orde Baru yang masih bulan madu dengan para intelektual progresif yang menyumbang runtuhnya Orde Lama. Struktur koruptif Indonesia baru saat itu dicatat dengan sinisme tajam oleh Asrul. Dalam adegan ini, Chalil menjadi sosok abstraksi sosok seniman ideal dalam modernisme. Integritas individu segalanya, lentur bergaul dengan dunia pesta para elite negeri, sembari meyakini teguh bahwa itu adalah dunia palsu –demikian ucap Chalil ketika keberatan Palupi pergi ke pesta Sugito.

Film ini lebih jadi kisah Palupi dan Chalil. Walau, kisah bergulir dari awal sebuah kilas balik Palupi di adegan pertama. Setelah ingat pada Haidar yang telah ia tinggalkan, Haidar yang sangat mencintai Palupi, kita dibawa pada kamar tempat mereka tinggal, dan kamera bermula dari Haidar sedang mengetikkan naskah dramanya yang baru dan Palupi duduk menatap langit-langit rumah/kamarnya. Komposisi ruang dan pemain amat simetris, mise en scene sungguh diperhitungkan dengan baik. Seperti sebuah diorama ruang modern yang rapi. Haidar mengetik, memunggungi Palupi. Palupi terkulai di kursi santai, matanya menerawang.

Palupi menarasikan, mengabstraksikan, ruang dan keadaan itu. “Suamiku Haidar, seorang pengarang yang bekerja keras. Yang ia cari bukanlah pangkat dan kedudukan, tapi harga diri,” begitu narasi Palupi membuka cerita mereka. Kata “harga diri” telah muncul di mula cerita. Sebuah indeks bagi tema individualisme dalam modernitas yang diemban oleh film ini. Kata “harga diri” bisa saja diterjemah “dignity”, tapi bisa juga diterjemah harfiah sebagai “personal worth”. Akar istilahnya adalah “personal”, dan akar kata “personal” tentu saja “person” –pribadi, individu.

Kata “harga diri” dalam film ini tanda sebuah pergeseran besar dalam masyarakat Indonesia sesudah 1965. Sejak masa Revolusi Kemerdekaan hingga 1965, langgam wacana masyarakat adalah pengorbanan individu demi cita-cita Revolusi. Atau, popularnya istilah “gotong royong” dalam imaji mobilisasi massa atau sebuah kehidupan paguyuban yang tak terlalu menganggap individualitas sebagai hal utama. Film ini mendudukkan “harga diri” sebagai ideal yang dikejar, setidaknya dihormati, tapi juga sukar didapati.

Film ini juga menjelajahi permasalahan harga diri sebagai persoalan kegelisahan individu mencari tempatnya dalam dunia. Palupi berulang kali bertanya pada dirinya sendiri, maupun ditanya oleh Haidar dan, terutama, Chalil, apa yang dia cari, dan apa yang dia mau. Kegelisahan seorang mencari tempat dalam masyarakat juga pernah diangkat Asrul dalam skenario Lewat Djam Malam (Sutradara: Usmar Ismail, 1954). Tokoh Iskandar (dimainkan A.N. Alcaff) adalah komandan pasukan gerilya semasa Revolusi Kemerdekaan, yang kesulitan mencari tempat yang pas bagi dirinya di masa damai. Ia gelisah, serbasalah, di tengah kawan dan kerabat yang bergerak dalam kepastian-kepastian sebuah masyarakat baru.

Sementara Palupi, gelisah karena ingin mendapatkan kebahagiaan. Di awal film, fondasi kegelisahan Palupi telah ditegaskan. Palupi membedakan diri dari Haidar. “Ia hidup di dunia hari esok,” kata Palupi tentang Haidar. “Dunianya adalah dunia seorang pencipta. Luas. Tumbuh selalu.” Sedangkan dunia Palupi adalah kamar itu, yang membosankan. Palupi sudah di atas 30 tahun, dia takut suatu ketika membuka mata dan tahu-tahu dia seorang nenek-nenek. Ia membutuhkan kesenagan sekarang. Tentang Palupi, Haidar berkomentar, “ia begitu gelisah….seolah-olah ingin berlomba dengan bayang-bayangnya sendiri.”

Palupi dan Iskandar bergerak bagai hantu, atau layangan putus, dalam sebuah masyarakat baru. Mereka melayang-layang dalam dunia yang dipenuhi oleh kepastian-kepastian.

Dalam kisah Palupi ini, kepastian-kepastian itu mewujud pada sosok Haidar dan Sugito. Haidar menampilkan kepastian harga diri –sebuah, katakanlah, kepastian moral. Sedang Sugito menampilkan kepastian pragmatisme ekonomi Orba. Sedangkan sahabat-sahabat perempuan Palupi di dunia Sugito hidup dalam kepastian yang telah ditentukan buat mereka: pasrah bahwa setiap saat mereka bisa dibuang sebagai sepah sehabis manis. Pasrah menjadi residu sebuah dunia baru Indonesia.

Sedangkan Chalil, ia menganut kepastian moral yang dijalani Haidar. Tapi ia bisa leluasa, walau dengan sinis, minum bir bersama Sugito di pesta Sugito. Padahal sebelumnya, Chalil meminta Palupi tidak datang ke pesta Sugito, karena “semuanya palsu, dibuat-dibuat, diperhitungkan!” Chalil memiliki pragmatismenya sendiri. Mungkin karena pekerjaannya adalah sebagai sutradara, yang harus selalu berurusan dengan produser yang secara stereotipikal hanya memikirkan untung dan bukan segi kesenian film.

Chalil sebetulnya menyuarakan kegelisahan juga. Ia menyayangi Haidar, juga Palupi. Ia melihat Palupi terbenam ke dalam angan-angan kemodernan yang bisa melukai Palupi. Setelah meminta Palupi tak pergi ke pesta Sugito, dan ditampik, ia merokok sendiri di balik setting rumah untuk filmnya. Palupi datang.

“Aduh! Gelap betul di sini,” kata Palupi.

“Yah, dalam dunia angan-angan, yang terang bisa kelihatan gelap!”

Chalil menyuarakan kegelisahan Asrul melihat normal baru pasca-1965. Para pengusaha multinasional berdatangan. Pejabat dan politisi mendulang untung. Pebisnis lokal makmur, mengadakan pesta demi pesta. Inikah hidup? Sementara, Palupi pun bertanya, dari posisi yang mengangankan pesta itu, Inikah hidup? Dalam kelurusan moral Haidar (ia ingin hidup bersih dan hidup kreatif), Palupi hanya mendapatkan kamar sempit tanpa ruang pribadi, usia menua tanpa pernah bersenang-senang. Inikah hidup?

Chalil secara patriarkis menutup percakapan, ketika Palupi mengungkapkan bahwa dia ingin senang. Lalu, dalam sebuah adegan yang juga mengesankan buat saya, Chalil memanggil art director-nya, menitahkan untuk meruntuhkan setting yang ada.

 

“Bikin rumah yang belum pernah mereka lihat! Yang tidak ada! Yang tidak pernah akan ada! Seperti dalam sebuah mimpi buruk.”

Dengan sangat teatrikal, pengarah artistiknya, Ami, menyahut, “Apa kataku! Apa kataku! Seperti dalam sebuah mimpi buruk!”

“Bikin sehingga mereka kira, itu yang sebenarnya. Dan yang sebetulnya, pura-pura. Biar mereka mencoba menunggang angin.”

 

Adegan ini sepenuhnya sebuah abstraksi, dan bukan mengejar penciptaan ulang sebuah kenyataan yang wajar dan sehari-hari. Hal ini lazim dalam seni modern, termasuk dalam film-film modernis yang berkembang di Eropa. Saya melihat adegan ini malah jadi teringat adegan-adegan yang dibuat oleh Ingmar Bergman, misalnya, dalam Persona (1966) –yakni percakapan-percakapan dan dinamika hubungan tokoh Alma dan Elizabet Volger. Atau film-film periode eskpresionisme Jerman pada 1920-an hingga 1930-an seperti karya Robert Wiene, Cabinet of Dr. Caligari, atau M karya Fritz Lang. Dalam film-film modernis semacam ini, yang sehari-hari disuling dulu jadi gagasan, diabstraksikan, lalu disusun ulang jadi sebuah dunia film mandiri yang bicara tentang kenyataan tapi tidak persis benar mereproduksi kenyataan.  

Abstraksi semacam ini lebih tertarik pada gagasan tentang kenyataan, atau gagasan tentang sebuah kenyataan di antara banyak pilihan konstruksi tentang kenyataan, ketimbang terhadap rangkaian peristiwa dan wicara yang ada di dalam dunia kenyataan sehari-hari. Film, atau novel, atau teater modernis seperti ini dengan kukuh melakukan defamiliarisasi (sebuah istilah dari khasanah kritik sastra aliran formalisme Rusia) melalui unsur-unsur bentuk.

Adalah lazim bagi kebanyakan film Indonesia saat itu, merujuk pada siasat teater. Tak terkecuali film ini. Beberapa adegan disusun dengan logika pertunjukan teater. Blocking diatur agar punya dampak optimal bagi penonton panggung. Dalam adegan percakapan Chalil dan art director-nya, Ama, terasalah sangat segi teatrikal itu. Ama dengan gestur seakan di panggung, berdiri di atas setting, dan Chalil berbicara tentang membangun setting rumah angan-angan yang harus bisa lebih nyata dari yang ada di dunia nyata. Dalam adegan ini, defamiliarisasi terbukti bisa berfungsi untuk menambah tegas sebuah komentar sosial, sebuah pesan, setidaknya sebuah artikulasi kegelisahan: bahwa modernitas yang dijanjikan oleh dunia baru Orba adalah sesuatu yang semu, angan-angan belaka.

Dari abstraksi demikian, mudahlah lantas menyeberang jadi sebuah adegan simbolik. Set rumah lama diruntuhkan, tepat di depan Palupi, dan Palupi lantas berdiri sendirian dalam latar gelap yang kosong. Cut to kamera mengikuti makanan pesta, dunia yang disebut sebagai semu, dibuat-buat, dan penuh perhitungan itu. Rumah lama telah runtuh, Palupi memasuki sebuah dunia baru.

Pemberdayaan siasat teater berpadu dengan teknik penyuntingan film semacam ini mempertegas betapa film ini juga punya kesadaran bentuk filmis yang kuat. Sayang sekali, saya menonton dalam versi yang belum direstorasi. Padahal terlihat, betapa Asrul senang sekali membuat adegan yang menyertakan elemen warna dan siluet seperti senja di pantai. Misalnya adegan kenangan cinta Palupi dan Haidar di pantai, ketika Haidar memberikan Palupi sebuah rumah kerang yang menurutnya bagus sekali. Atau, adegan Chalil dan Ama sang penata artistik berupa siluet dalam senja di benteng kuburan Belanda, membicarakan senja, kematian sebuah hari, dan betapa kita semua selalu terlambat karena hari ini tak akan kembali. Jika saja tatawarna adegan-adegan itu pulih, secara fotografis adegan-adegan itu akan dikenang tak kalah dari kualitas fotografis film-film Garin Nugroho.

Rangkaian adegan di lokasi benteng kuburan kuno itu juga menyertakan sebuah adegan sepasang kekasih dari dunia Sugito, yang membayang-bayangkan, secara agak sembarangan, bahwa reruntuhan bangunan tua itu adalah bekas hotel yang indah dan ramai. Ketika percintaan mereka dihentikan oleh awak film, dan disampaikan “kenyataan” bahwa itu adalah kuburan kuno dan bukan tempat bercintaan, kedua kekasih itu memilih melanjutkan angan-angan mereka tentang hotel itu.

Itu, lagi-lagi, sebuah abstraksi. Yakni, sebuah gagasan tentang cinta sebagai angan-angan. Cinta Haidar kepada Palupi dikatakan yang paling sungguh-sungguh. Tapi cinta Haidar tak memenuhi keinginan Palupi yang ingin lebih dari yang ada, malah tampak egotistikal karena hanya Haidar yang bisa jadi dirinya sepenuhnya dalam cinta itu. Palupi merasa mencintai Chalil. Sementara Chalil lebih suka bertandang kepada sesosok entah dalam senja pantai: seorang gadis bisu yang cantik sekali, dan tampak hanya mengabdi, yang ia sebut “Putri”.

Sekali lagi, apakah ini seksis, atau semata sebuah abstraksi dari bayang-bayang ideal Asrul akan perempuan dan hubungan lelaki perempuan, yang disadari mustahil ada dalam dunia nyata?

Lebih menarik lagi, menarik garis hubungan tentang dua angan-angan itu dalam film ini: angan-angan tentang cinta, dan angan-angan tentang kemodernan. Jika cinta adalah ilusif bagi tokoh-tokoh dalam film ini, rupanya begitu juga kemodernan. Bukan tanpa pijakan jika saya menganggap pencarian Palupi atas entah apa itu adalah abstraksi sebuah pencarian manusia modern di masa Orde Baru untuk menemui janji-janji kemakmuran dari dunia modern.

Pada 1973, CSIS menerbitkan kumpulan ceramah dan tulisan Ali Moertopo, menteri andalan Soeharto pada era 1970-an, yang bertajuk: Dasar-Dasar Pemikiran Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun. Boleh dibilang, buku ini adalah salah satu dari risalah cetak biru Orde Baru. Istilah “akselerasi modernisasi” menjadi popular sebagai kebijakan inti Orde Baru. Intisarinya adalah fokus tanpa kompromi terhadap Ekonomi Pertumbuhan, atau “pembangunanisme”, dan meniadakan nyaris secara mutlak unsur-unsur pengganggu seperti oposisi atau pun politik ideologis di luar ideologi resmi yang telah dirinci dan ditetapkan dengan keras oleh rezim Soeharto.

Seni modern, dengan pemberontakan-pemberontakan abstraknya, dianggap relatif aman, sepanjang bisa dilokalisasi. Misalnya, di Taman Ismail Marzuki. Seni modern dan para seniman modernis, dengan demikian, dihormati, selayak Chalil menghormati Haidar. Tapi, para elite ekonomi dan politik, juga masyarakat luas yang dijanjikan kesenangan dan pesta-pesta, tidak tahu keberadaan para seniman modernis itu. Sebagaimana Sugito, tak tahu dan tak perduli akan keberadaan Haidar.

Modernisme dalam seni berjalan seiring tapi terpisah di jalan masing-masing. dengan modernisme di bidang sosial-ekonomi. Jalan seni lebih sempit dan gelap, tentu. Tapi, tidakkah ini pun sebuah ilusi? Setidaknya, sebuah konstruksi. Malah, sebuah romantisasi. Jika melihat cakap-cakap kelompok penentang Revitalisasi TIM pada 2019-2020, misalnya, tampak sekali masih ada romantisasi demikian tentang betapa seniman dan seni, dan TIM sebagai lokalisasi Orba atas seni modern, adalah pusat dunia modern. Sebagai pusat, seni-seniman-ruang seni harus bersih, lurus, tak punya sedikit pun anasir komersial. Padahal, dunia seni dan dunia ekonomi semakin disadari selamanya berkelindan: para pelukis zaman Renaissance hidup dari uang para saudagar Italia, boom ekonomi Asia pada 1980-an bertaut dengan boom pasar seni rupa dunia, budaya teater di London selalu hidup ketika jadi industri hiburan dengan serangkai perusahaan teater dan tari (theater company dan dance company). Mengidealisasi “gorong-gorong kebudayaan” adalah sebuah romantisasi tentang kemurnian dalam kemelaratan seni.

Chalil dan Haidar hidup dalam angan-angan kemodernan tentang seni, yang menyempal dari kenyataan modernisasi di luar seni modern. Chalil dan Haidar hidup dalam keyakinan akan ketinggian moral mereka, dan memandang rendah kegelisahan Palupi yang ingin senang sekarang. Padahal, bisa jadi kegelisahan Palupi adalah valid. Hanya saja saat mencari jawab, Palupi tertipu ilusi kemodernan yang lain: ilusi pesta gemerlap pembangunan. Dunia modern yang lain, yang ditawarkan oleh Sugito. Jika dunia modern Haidar membosankan Palupi, dunia modern Sugito melukai Palupi.

Chalil sebetulnya menyimpan jalan tengah. Ia bisa menyenangkan hati Palupi di pantai, makan udang dan sate 30 tusuk di warung tepi pantai yang hanya berkawan dengan deru angin dan debur ombak, dan senja waktu itu masih sesuatu yang ajaib, belum jadi barang kalengan seperti sekarang. Tapi, Chalil juga mengejar entah apa. Tak ada yang bertanya pada Chalil, apa yang kau cari, Chalil? Dari kejauhan, Palupi yang sedang senang-senang bersama kawanan Sugito dengan mobil-mobil mewah mereka di pantai gelap, memandang Chalil dan Putri. Mereka entah sedang menjalin apa.

Dua hal yang sangat menarik sebagai penutup. Pertama, pilihan Asrul untuk menjadikan dunia Chalil adalah dunia film. Apakah Asrul menyatakan secara tersirat bahwa dunia film adalah sebuah dunia bisnis angan-angan, yang mampu menyingkap sifat ilusif dari angan-angan kemodernan di dunia luar film?

Yang kedua, jejak Asrul sebagai seorang pendiri Lesbumi dan intelektual keturunan Sumatera Barat, tampak dari idiom Islam yang muncul dua kali dalam film ini. Saat Palupi di pantai, berpapasan dengan serombongan santriwati yang menyenandungkan lagu shalawat Nabi SAW. Makna tatapan Palupi pada mereka tak diartikulasikan secara verbal oleh Asrul dalam film ini. Dan saat Palupi terkunci di balik pagar sebuah rumah besar yang sedang pesta bising sepanjang malam, menatap seakan putus asa keluar pagar, lalu terdengar suara azan subuh. Lagi-lagi, tak ada artikulasi verbal apa pun tentang kehadiran idiom Islam itu.

Agama dalam film ini tak pernah jadi jalan keluar bagi Palupi. Tapi terhadap shalawat dan azan itu, Palupi sedang menatap apa? Sebuah dunia yang jauh, dan tak mungkin didatangi lagi oleh Palupi?

Kita tahu, pagi akan tiba, dan pesta akan usai juga. Jika pintu pagar besi itu dibuka, semua akan pulang. Mungkin itu makna tatapan kosong Palupi: ia akan pulang ke mana? Sementara shalawat dan azan itu telah tiada di pagi nanti, pergi tak menunggu Palupi. ***

 

Apa Jang Kau Tjari, Palupi?  Sutradara: Asrul Sani. Skenario: Asrul Sani & Setyagraha Hoerip. Pemain: Farida Syuman/Farida Feisol, Pietrajaya Burnama, Ismed M. Noor, Widyawati, Aedy Moward. Penyunting: Janis Badar. Produksi: Dewan Produksi Film Nasional, 1969. Penghargaan: Film Terbaik Festival Film Asia, 1970.