Autobiography: ANATOMI KEKUASAAN DALAM MENGGENGGAM BATU

[Arsip: ulasan ini pernah dimuat di majalah Tempo, 2022. Ini versi belum diedit redaktur majalah.]

Rakib, menatap kamera secara close up, sejenak tampak sukar menelan cerita anaknya. Rakib, di luar kamera (adegannya tak ada, kita hanya menyimpulkan), agaknya baru menceritakan kejadian yang ia alami dengan Pak Purna. Lalu, Ayah Rakib yang sedang dalam penjara menarik napas sedikit dan melemaskan wajahnya. Ya sudah, nasihatnya, dinikmati saja.

Dalam adegan singkat itu, saya terpelatuk sebuah kenangan akan bagaimana kekuasaan bekerja semasa Orde Baru. Kekejaman dan otoritas berkelindan sebagai sebuah kebulatan dengan kepatuhan dan kepasrahan. Dinikmati saja, yang penting kita hidup dan sehat. Sebuah mantra rakyat kebanyakan, dalam menatap dan mengalami mesin kekuasaan militer yang telengas selama rezim Soeharto.

Dan karena ini menyangkut nasib Rakib, tokoh muda, generasi kini, di film ini, maka terletik pula pertanyaan yang belakangan selalu muncul di media dan sosial media: apakah anatomi kekuasaan masa lalu sedang berulang?

Makbul menulis dan menyutradarai kisah yang berlapis. Di permukaan, film ini menutur pertumbuhan hubungan Rakib (Kevin Ardilova) dan Purna (Arswendy Bening Swara). Rakib anak muda yang tinggal sendiri menjaga vila di sebuah desa, milik Purna, seorang pensiunan jenderal yang masih berkiprah di politik. Tiba-tiba Purna datang, dan begitu saja rutinitas baru pada Rakib. Purna sang purnawirawan ingin kampanye agar terpilih lagi jadi bupati. Tema kampanyenya adalah pembangunan PLTA yang harus menggusur lahan penduduk setempat.  

Perlahan, lapis di bawah itu menyeruak. Tersusun gambaran sebuah anatomi kekuasaan yang menegangkan. Sejak pilihan minum kopi atau teh, pakaian seragam bekas dari Purna untuk Rakib, hingga kemurkaan kalem sang jenderal pada perobekan spanduknya, tampaklah dinamika kuasa dan kepatuhan semakin terasa dengan atmosfer kekerasan yang menggantung di ruang-ruang vila yang muram dan jalanan kampung.

Kekuasaan yang terbangun dari sebuah rezim militer yang merasuk ke dalam pengaturan sosial sehari-hari. Kekuasaan yang harus bulat, tak boleh terbagi, lonjong, atau rumpang. Kekuasaan yang menuntut kepatuhan dan kesetiaan bulat, dalam hal keseharian maupun dalam permintaan dadakan yang ekstrem dari sang jenderal purnawirawan. Kekuasaan yang memberi hadiah banyak bagi mereka yang setia tanpa syarat. Kekuasaan yang tegak lewat kata-kata “inspiratif” bagi yang setia dan ancaman kekerasan bagi yang menyempal.

Rakib sebagai sekadar penjaga vila secara alamiah nurut Purna, dan tampak terpesona pada peningkatan status sosialnya sendiri ketika seakan jadi “anak angkat” Purna. Dalam pesona kuasa itu, Rakib berinisiatif mencari dan membawa perusak spanduk kepada Purna. Ia percaya betul pada kata mutiara Purna, “maaf bisa jadi hadiah”. Ketemu: Agus (Yusuf Mahardika), yang sempat menyampaikan permohonan agar Pak Purna memerhatikan penggusuran rumah ibunya untuk PLTA. Pesona itu berubah jadi teror ketika sebuah pintu tertutup, dan kekerasan meledak di balik pintu.

Makbul cukup matang untuk membiarkan kekerasan itu tak tampak. Kita hanya menyaksikan jejak dan akibat-akibatnya. Justru karena itu, kekerasan itu terabstraksi dan berkecamuk dalam imajinasi penonton. Kematangan itu juga tampak pada pengelolaan seni peran seluruh karakter dalam film ini, dialog dan adegan, penataan sinematografi, serta soundscape kampung yang kaya bahkan dalam kesunyiannya. Suara azan subuh bersahutan di jauhan, misalnya, di samping sangat khas kampung di Jawa, juga menambah tekstur realisme bagi kekerasan kuasa dalam film ini. Setidaknya bagi saya, detail kecil ini memberi perasaan dekat pada cerita.

Perasaan dekat itu juga tumbuh dari kepercayaan kita pada seni pemeranan yang tampil di sekujur film. Kevin dan Arswendy terasa hadir bukan sekadar boneka bagi dialog dan cerita. Dalam premiere dunia film ini di Festival Film Venice, 3 September 2022, Kevin mengungkap bahwa pandemi menunda dua tahun (dari 2019 hingga 2021) proses syuting. Hal ini memberi kesempatan adanya penulisan-ulang berulang kali, dengan partisipasi aktif para pemeran. Makbul menambahkan bahwa itu kesempatannya agar setiap dialog mampu mengemban informasi adegan sekaligus bermakna sesuatu yang “lain”.

Makbul menambahkan dalam percakapan dengan saya, peran Arswendy dan Gunawan Maryanto (main sedikit di sini, jadi kuli yang hendak ngamuk –salah satu penampilan terakhirnya sebelum wafat). Arswendy banyak memberi masukan tentang karakter jenderal, karena rumahnya kebetulan dekat kompleks militer. Banyak amatan Arswendy dari keseharian tetangganya menyumbang perbaikan dialog dalam naskah. Makbul antusias bercerita tentang Gunawan, dipanggil akrab sebagai Cindhil, sangat membantu dalam melatih pemeranan walau baru terlibat di saat syuting hampir dimulai.

Mas Cindhil itu punya pendekatan berbeda bagi setiap aktor, kata Makbul. Contohnya, bawaan tubuh Yusuf Mahardika itu santai. Padahal, sebagai Agus, ia harus memasuki rumah Purna dalam ketegangan. Cindhil menyarankan, coba Yusuf menggenggam batu di saku selama adegan. “Dan sangat membantu bahwa Mas Cindhil itu penyair,” kata Makbul. Cindhil mewanti-wanti, ingat ya, Yusuf, kamu itu bukan “memegang” batu, tapi “menggenggam” batu. Alangkah beda hasilnya, kata Makbul.  

Kerja kamera dan penyuntingan pun kawin selaras dan jitu dalam memikul tugas menatap dari dekat permainan kuasa dalam film ini. Wojciech Staron, sinematografer film ini, mendekatkan kamera kepada karakter dan ruang setiap adegan secara intim. Banyak close up dan mid-length shots pada wajah yang meningkatkan tangkapan akan perubahan-perubahan kecil pada ekspresi dan gestur semua tokoh. Cahaya ditata redup, menegaskan ketuaan ruang villa dan sebuah atmosfer muram. Sebuah lukisan di dinding, sang jenderal saat masih gagah menjabat, menjadi penanda adanya kenangan akan kekuasaan.

Suntingan Carlo Francisco Manatad, sutradara muda dari Filipina, menjaga tempo film agar merambat tapi tak lamban, tak tergesa ingin menonjok-nonjok, memilih menjalankan alur cerita secara perlahan mencengkeram perhatian kita. Paduan kamera yang intim dan derap yang tak terburu itu memberi waktu bagi kita, penonton, untuk meresapi dan ngeri secara layak pada kuasa absolut militeristik nan korup. Sebagai thriller, ia tak menghimbau pada adrenalin. Ia lebih menghimbau kecemasan akan keniscayaan maut yang berjingkat mendekat.

Naman Rachandran dalam Variety menyebut film ini sebagai “morality thriller”. Makbul sendiri menyebutnya sebagai sebuah “investigasi emosional” terhadap hidup di bawah kekuasaan militer dan sesudahnya.

Autobiografi adalah debut film panjang Makbul Mubarak. Film ini telah keliling di lab film festival-festival internasional sejak masa praproduksi dan tahun ini terpilih dalam sesi Horizon Festival Film Venisia 2022. Kusala FIPRESCI, salah satu ajang penghargaan pendamping dari para jurnalis dan kritikus film internasional di Venice Film Festival, lantas memilih Autobiografi sebagai pemenang First Film Award seksi Horizon. Ia bersanding dengan Argentine, 1985 yang jadi film terbaik FRIPESCI sesi Kompetisi Utama di Festival Film Venesia 2022. Kedua film itu mengulik anatomi kekuasan di “dunia ketiga”.

Tapi, film ini tak berhenti pada kenangan akan kekerasan. Ia juga mempertanyakan, tidakkah kuasa korup itu masih memiliki tuah dan terwariskan pada generasi muda? ***

Autobiography. Sutradara: Makbul Mubarak. Produser: Yulia Evina Bhara, Makbul Mubarak (ko-produser). Skenario: Makbul Mubarak. Pemain: Kevin Ardilova, Arswendy Bening Swara, Yusuf Mahardhika, Rukman Rosadi, Lukman Sardi, Yudi Ahmad Tajudin. Sinematografi: Wojcieh Staron. Editor: Carlo Francisco Manatad. Produksi: Kawan Kawan Media, Kaninga Pictures. Indonesia. Durasi: 115 menit.

Noktah Merah Perkawinan: EMOSI-EMOSI RAPI DI RUANG-RUANG BORJUIS

Pada satu adegan di awal, ketika babak pertama konflik antara Gilang dan Ambar disajikan kepada penonton, sudut pandang kamera dan blocking plus ruang membuat imaji simetris nyaris sempurna. Pada babak ketiga konflik mereka, ada adegan Gilang berlari di samping mobil Ambar, dan lagi-lagi tersaji imaji simetris. Keduanya indikasi adanya gagasan bahwa konflik rumah tangga di film ini bisa disajikan dengan rapi, terancang baik, dan terukur. Dan sedap dilihat penonton.

Kerapian itu bukan cuma pada imaji-imaji simetris, tapi juga pada pilihan kapan kamera berdiri stabil, kapan bergerak dan goyah. Ketika emosi sedang tertahan, atau masih di tahap build up, kamera stabil. Ketika emosi meledak, kamera goyah dan steady cam mengambil alih.

Tata cahaya dan ruang-ruang film juga menggambarkan betapa konflik itu ada dalam sebuah gelembung dunia resik borjuis metropolis Jakarta Raya. Three points light dengan *fill light* yang royal, yang selalu melunakkan bayangan pada wajah dan tubuh yang tertangkap kamera. Ini memang “penyakit umum” di banyak film Indonesia di era 2000-an ke kini: dunia yang selalu terang, seperti diorama.

Dan tubuh-tubuh itu selalu bergerak, dan meledakkan emosi di ruang-ruang nyaman yang memungkinkan ekspresi emosi maksimal: kamar dan taman rumah besar dengan arsitektur ala AMI, pekarangan rumah indies, kafe-kafe, mobil pribadi, ruang penasihat perkawinan, sekolah swasta yang besar, kantor pribadi, KRL yang sedang tak padat. Ini adalah ruang-ruang ketika ibu yang terlambat menjemput anaknya di sekolah dengan mobil pribadi atau istri merasa dilibatkan atau tidak dalam keputusan suami dan suami tak mampu membicarakan masalah bersama atau Yuli bisa memberi kenyamanan pada Gilang saat Gilang berkonflik dengan istrinya adalah drama eksistensial nan besar.

Walau cerita menutur betapa banyak emosi terpendam, pada akhirnya semua emosi itu bisa diartikulasikan dalam ruang-ruang aman itu, dalam dialog-dialog rapi. Saya memuji skenario yang menahan diri tak terjebak hasrat berpetuah atau berkata-kata mutiara (kecuali sedikit di beberapa tempat, mis.: adegan di kantor pengadilan agama Jakarta Selatan).

Tapi, film ini, seperti kebanyakan film drama Indonesia, masih tak beranjak dari konsep-konsep abstrak seperti “cinta” dan “bahagia”. Juga, film ini tak beranjak dari idealisasi konsep keluarga heteronormatif-monogamis, yang menempatkan kebahagiaan tertinggi hanya dalam konstruksi pernikahan demikian. Memang, film ini seakan menawarkan pula ada opsi “bahagia” di luar lembaga pernikahan, seperti dipapar sang penasihat pernikahan. Tapi, poin utama opsi itu adalah bahwa “kita” selalu punya opsi memilih bentuk bahagia. Ada yang bahagia dengan seumur hidup mengupayakan pernikahan bertahan, ada yang bahagia dengan berpisah. Nah, Gilang dan Ambar adalah tipe yang merana dalam memilih berpisah. Tapi mereka selalu punya opsi bahagia. Masalah terbesar mereka adalah memastikan apa dan bagaimana mereka akan bahagia.

Kehadiran perempuan lain, Yuli, adalah penegas konstruksi heteronormatif itu. Dia yang jatuh cinta pada Gilang, dengan sendirinya (given) menjadi masalah sekaligus merasa ber(ma)salah. Dia tidak “jahat” (lagi, sebuah konsep abstrak). Dia hanya jatuh cinta pada orang yang “salah”.

Tapi apa itu “jatuh cinta” bagi Yuli, itu tak digali. Saya sebagai penonton hanya melihat, Yuli menemukan kenyamanan pada Gilang, dan mikir, ya iya lah, wong pacarnya arogan begitu. Lagian, Gilang/Oka Antara ganteng betul! 😁 Begitu juga apa itu “cinta” pada Ambar (Marsha Timothy) –ketika dia mengucap, “Aku terlalu mencintaimu”?

Kita diminta menerima saja, bahwa (1) ya, ini soal Ambar “terlalu mencintai” Gilang, sedang Yuli “jatuh cinta pada orang yang salah”, dan (2) wadah terbaik bagi cinta dan kebahagiaan adalah pernikahan.

Sosok Yuli sendiri tumbuh jadi sosok perempuan yang tak punya daya dalam hubungan-hubungannya. Yuli selalu menyesuaikan diri dengan keinginan pacarnya, dan keputusan status pacaran mereka pun ditentukan oleh pacarnya. Tak ada negosiasi, hanya diberitahu dan menerima. Beda dengan Ambar yang selalu menegosiasikan relasinya dengan Gilang. Saat Yuli jatuh cinta pada Gilang, pola relasi serupa pun berulang: Yuli selalu menyesuaikan diri pada Gilang, termasuk ketika Gilang tetap mencintai Ambar.

Mungkin peniadaan daya Yuli penting bagi film ini agar tak ada ruang bagi penonton untuk memandang Yuli sebagai “pelakor”. Dalam iklim medsos kini, masyarakat kelas menengah kota di Indonesia, khususnya di Jakarta (kelompok utama pasar film Indonesia) sangat puritan dalam menghakimi “pelakor”. Yuli, bukan pelakor. Dia hanya perempuan yang salah karena membiarkan perasaannya pada suami orang tumbuh.

Tak ada lakon selingkuh dalam film tentang cinta segi tiga ini, hanya ada kesalahpahaman antara mereka bertiga. Walau narasi film dituntun oleh curhat Yuli pada penasihat pernikahan Ambar (Ayu Azhari, pemeran Ambar di sinetron NOKTAH MERAH) yang ternyata tante Yuli, Yuli sendiri hanya pelengkap penderita drama cinta Gilang dan Ambar.

Upaya keras film ini untuk tak membuat Yuli jadi sosok pelakor adalah indikasi utama tentang dominannya idealisasi keluarga heteronormatif-monogamis dalam film ini. Hal ini membuat bahan drama film ini tipis saja. Peluang drama lain yang menarik, relasi pasangan itu dengan mertua masing-masing, tidak dikembangkan macam DI BALIK KELAMBU (Teguh Karya, 1983) atau SEPARATION (Asghar Farhadi, 2011). Masalah itu hanya jadi latar, atau pelatuk percakapan tentang drama utama: apakah Gilang dan Ambar bahagia dalam pernikahan mereka yang telah 11 tahun dan dua anak. Aspirasinya memang MARRIAGE STORY (Noah Baumbach, 2019).

Bahan drama di seri sinetron NOKTAH MERAH PERKAWINAN (77 episode, 1996-1998) lebih tebal dari film ini. Tapi, tentu penonton bisa bilang, ya jangan dibandingkan dong, itu sinetron punya rentang durasi panjang untuk mengulik kompleksitas drama rumah tangga. Poin saya bukan soal apa film ini harus mengulik semua bahan drama rumah tangga, tapi soal perhatian utama pada apa dari konflik pernikahan. Pilihan film ini adalah pada bahan abstrak dan tipis tentang bagaimana pasangan heteronormatif kelas menengah kota bisa bahagia apabila mereka punya masalah berkomunikasi.

Film ini memang film “ngomong”. Bukan hanya plot dibangun dari percakapan-percakapan, malah percakapan rupanya dipercaya benar sebagai jalan keluar. Konflik terjadi karena ketakmampuan membicarakan masalah berdua, dan konflik diatasi lewat kesediaan membicarakan masalah setiap tokoh satu sama lain. Masalah terjadi ketika Gilang dan Ambar membicarakan masalah mereka pada orang lain, tapi tidak antara mereka sendiri. Masalah selesai ketika Gilang membicarakan perasaannya pada Ambar, dan ketika Yuli membicarakan perasaannya pada Ambar.

Konstruksi kepercayaan ini menentukan pendekatan sinematiknya. Mau tak mau, dialog jadi tumpuan utama, dan mau tak mau, seni pemeranan (akting –bahasa apa pula, “akting”?) jadi primadona. Para pemeran dituntut mampu menampilkan emosi-emosi puncak (menangis, berteriak, berbisik dengan suara tergetar) secara meyakinkan. Oka dan Marsha, juga Sheila Dara Aisha, memang tampil baik dalam skema seni pemeranan jenis ini di sini.

Seperti kelaziman di film-film arusutama Hollywood, Korea Selatan, India, dan Indonesia, musik jadi instrumen utama penebal emosi dalam cerita. Scoring/iringan musik terasa merajalela (pervasive), bersikeras menuntun (mendikte?) emosi penonton. Editing dengan baik melayani kehendak melodramatik film ini, dan di beberapa tempat sukarela tunduk pada rajalela musik pengiring. Jumpcut di adegan KRL sepulang Gilang dan Ayu dari Bogor memberi efek manis jatuh cinta.

Film ini praktis tak menawarkan perspektif kritis terhadap lembaga pernikahan, apalagi subversi. Film ini mengukuhkan idealisasi lembaga pernikahan heteronormatif-monogamis. Ada sedikit pengukuhan juga atas posisi lelaki sebagai pusat, penentu kebahagiaan perempuan.

Lalu, kenapa film ini begitu dipuja-puji di Letterboxd maupun akun-akun “sinefil” di medsos? Walau, ternyata film ini tak terlalu berhasil di pasaran: hanya di bawah 120 ribu penonton.

Saya kira, bukan sekadar karena kriya film ini, yang membuat puja-puji itu muncul. Yang banyak berulang, ungkapan pujian pada tampilan drama film ini dan ungkapan “wah, relate banget”. Film ini seakan memberi afirmasi/pengukuhan juga bagi para penontonnya. Afirmasi apa? Afirmasi atas nilai-nilai konservatif penonton atas lembaga pernikahan di Indonesia?

Atau mungkin film ini jadi getar-balik (resonansi) atas damba penonton kita mengenai betapa bicara-bicara bisa menyelesaikan konflik-konflik kita? ***

Noktah Merah Perkawinan (2022). Sutradara: Sabrina Rochelle Kalangie. Penulis: Titien Wattimena dan Sabrina Richelle Kalangi. Pemeran: Marsha Timothy, Oka Antara, Sheila Dara Aisha, Ayu Azhari. Produser: Gope T. Samtani. Produksi: Rapi Films. Durasi: 119 menit.