Istri Orang: NASKAH SEBAGAI PROSES KOLEKTIF

Sebuah “sinema kolaboratif” dengan metode penulisan skenario yang tak lazim. Berhasil menggambarkan lapis-lapis masalah gender di daerah pedesaan Indonesia.

Di pulau kecil dan mungkin terpencil, di perbatasan laut Jawa dan Selat Makassar, Pulau Kangean, Endah mencoba melawan struktur patriarkis. Penonton yang berlatar kota dan berpendidikan cukup tinggi kemungkinan cukup karib dengan istilah “struktur patriarkis” dan gerakan feminisme yang menggugat struktur tersebut. Endah di Pulau Kangean menamai keadaan itu dengan sahaja: “Ini adalah dunia lelaki,” dan diucap dalam bahasa Kangean.

Itulah kalimat pertama dalam film ini, sebuah monolog dalam pikiran tokoh utamanya, Endah, yang muncul dalam adegan pertama: Endah menyiangi dan menanam rumput baru di makam ibunya yang telah wafat tiga tahun, dalam seragam SMU dan jilbab. Endah melanjutkan monolognya, betapa di pulau itu, hanya seorang perempuan yang selalu membela atau setidaknya memahami Endah, dan ia adalah ibunya. Setelah itu, “inilah kisahku”: kisah Endah menghadapi lima lelaki.

Film ini terasa personal, tapi proses penciptaan kisah dan visualisasinya adalah hasil proses kolektif. Dirmawan Hatta, yang sempat mencuri perhatian pada 2013 sebagai penulis/sutradara Toilet Blues dan Optasisimus yang terasa eksperimental, berinisiatif membuat film yang ia sebut “sinema kolaboratif” dalam credit title. Gagasannya adalah mendorong pembuatan film oleh warga Indonesia di daerah pinggir atau terpencil.

Ia mendirikan organisasi Tumbuh Sinema Rakyat, lalu dengan bantuan beberapa lembaga donor, mengadakan lokakarya Sinema Rakyat di empat daerah Indonesia, dan telah menghasilkan empat film: Jalan Raya Pipikoro (lokakarya di Sigi, Sulawesi Tengah), Sebelum Berangkat (lokakarya di Sumba Barat), Di Tepi Kali Progo (lokakarya di Kulon Progo), dan Istri Orang. Metode pembuatan filmnya adalah partisipatoris –warga setempat yang ikut lokakarya, secara aktif mencipta cerita bersama-sama, dan membuat filmnya secara aktif bersama pula.

Dirmawan, dalam wawancara, menceritakan bahwa Istri Orang dimulai dengan peserta lokakarya saling menceritakan kisah hidup mereka, dan penyimak cerita akan menyajikan cerita kawannya di kelas. Proses ini ia sebut “riset”, upaya menggali kisah personal warga setempat, dan mencari cerita yang akan dipilih kelas sebagai “cerita dasar”.  Cerita dasar itu dipilih setelah pembandingan dan elaborasi oleh kelas, hingga punya “kelengkapan naratif yang memadai”.

Kadang, cerita utama dielaborasi begitu jauh dari “tema”. Misalnya, terajukan pertanyaan dalam kelas, “kalau kamu punya duit, kamu akan belanja apa?” Menurut Dirmawan, hal tersebut memberi “tekstur yang lumayan pada cerita yang sedang dielaborasi”. Dengan proses seperti ini, Dirmawan menganggap bahwa cerita yang tertangkap menjadi organik, karena berdasarkan pengalaman. Hasil akhirnya biasanya berupa penunjuk poin-poin cerita. Kadang, kata Dirmawan, naskahnya malah berupa tabel di program Microsoft Excel.

Proses itu memberi peluang menjawab masalah lain, seperti masalah pemeranan. Karena merupakan kisah organik, pemeranan pun (dalam arti non-profesional) menjadi optimal. Kisah dalam Istri Orang adalah kisah aktual yang dialami pemeran Endah, Endang Sriwahyuni. Sebagai sebuah proses kolektif, kisah itu tak tumbuh jadi cerita tunggal. Ada beberapa tambahan atau pemiuhan. Endang, dalam pengalaman aktualnya yang lengkap, memilih jalan yang berbeda dari Endah di akhir kisah. Dan dalam beberapa adegan, Dirmawan melakukan penghalusan.

Kisah Endah/Endang berangkat dari masalah sosial di pulau Kangean. Para lelaki Kangean banyak yang bekerja di luar negeri, jadi buruh TKI (tenaga kerja Indonesia). Jika lelaki itu telah menikah, ia meninggalkan istrinya untuk waktu yang lama dan tak tentu. Hal ini membuat para perempuan berstatus “istri orang” berada dalam posisi canggung. Di satu sisi, ia sendiri. Di sisi lain, ia adalah “milik” orang yang entah di mana –tak boleh didekati atau punya posisi mandiri. Apalagi soal asmara. Atau, setidaknya, dekat dengan lelaki lain.  

Lelaki pertama yang diceritakan Endah adalah seorang yang merasa, mengaku, bertindak sebagai lelaki yang mencintainya. Tapi, lelaki itu meninggalkannya. Merasa bahwa ia harus mengalah atas rencana ayah Endah menikahkan Endah dengan seorang kaya, anak pemilik penggilingan padi. Endah muntah. Bukan karena hamil. Endah merasa tak dipahami lelaki pertama, bahwa ia hanyalah lelaki, bagian dari kaum pemilik dunia ini. Sama saja dengan lelaki asing yang akan menikahinya, atau para lelaki, para ayah, yang memutuskan Endah harus menikah, seperti jual beli barang. Lelaki semacam itu membuatnya ingin muntah, pikir Endah.

Lelaki kedua, suaminya. Setelah didandani, dipajang, diarak-arak, dibawa ke rumah asing, ranjang asing, untuk tidur dengan seorang lelaki asing, Endah muntah. Endah berpikir, “muntah adalah kebebesanku yang tersisa.”

Lelaki kedua itu meninggalkan Endah. Rupanya ia pun menganggap Endah asing dan tak betah. Endah paham, lelaki kedua itu sama seperti dirinya, mendamba kebebasan. Adegan di kamar tidur saat Endah membuka jilbab, dan ditampik, sungguh kuat. “Ia memakaikan jilbab pada kepalaku, dan membebaskanku,” ujar Endah dalam hati. Lelaki itu ke Malaysia, meninggalkan posisi wagu pada Endah: ia jadi “istri orang”, tapi suaminya tak ada.

Lelaki ketiga adalah ayah mertua Endah. Pikirannya lurus, hanya berpikir bagaimana mengurusi hartanya yang banyak. Lelaki keempat, ayah kandung Endah, yang mengawinkan Endah agar ia bisa dapat uang. Struktur monolog yang tidak sepenuhnya kronologis menimpa adegan-adegan yang maju linear. Sudut pandang bias gender dari Endah semakin terasa berulang, memberi rasa tak nyaman: mulai terasa cerewet. Ternyata, ada poin dari kecerewetan itu. Lelaki kelima menawarkan kelok tajam pada persoalan gender itu.

Lelaki itu membawa air ke penggilingan dan ladang mertua Endah. Mereka mendekat. “Aku sedih, aku bahagia. Atau aku tak paham, tapi aku hidup. Mungkin begitulah hidup,” pikir Endah. Ketika jelas bahwa mereka harus memilih: bersama atau berpisah, lelaki itu mengucap, “kau berhak memutuskan, karena kau perempuan.” Adegan ini memberi lapis baru persoalan patriarkis yang dihadapi Endah: ia bisa jadi memilih jadi korban. Kisah Endah ditutup dengan pemahaman lembut akan kompleksitas masalah gender. Bahwa kadang, seorang korban patriarki, untuk alasan yang tak terlalu bisa dipahami, memang memilih tidak keluar dari kungkungan patriarkis itu.

Selain segi tematik dan statement tentang masalah gender yang tak sederhana, Istri Orang sebetulnya patut dipujikan sinematografinya. Nilai produksinya tentu rendah, dalam arti hanya mengandalkan cahaya alami, musiknya pulungan gratis dari internet, setting apa adanya, in situ. Tapi, komposisi gambar, retorika kamera, dan blocking penuh perhitungan matang. Setiap gambar jadi imaji yang (bukan eksotis, tapi) kaya. Semua padu jadi naratif visual dan verbal yang optimal.*** (HD)

Tinggalkan komentar