BANGSA DALAM FILM LAGA, Sebuah Catatan Kecil

[ARSIP] Suatu ketika, saya diundang Mas Ihsan Ali-Fauzi untuk mengantar diskusi film Tae Guk Gi di Klub Film Paramadina yang bertempat di Kafe Pisa, Jalan Mahakam, Blok M, Jakarta. Saya lalu membuat catatan kecil pengantar diskusi. Sebagai tulisan yang bersifat memancing diskusi, ulasan ini tak terlalu tuntas, boro-boro mendalam. Tapi, semoga masih bisa memancing diskusi.

Tae Guk Gi. Sutradara: Kang Je-Gyu, Aktor: Jang Dong Gun, Won Bin, Lee Eun-Ju, Durasi: 148 menit, 2004 (USA Release)

Taegukgi-001

Suatu sore di pantai Odaiba, Tokyo, seorang kawan dari SRDV ITB yang sedang S3 di Tokyo, Hafiz, menyampaikan amatan yang buat saya menarik tentang Korea Selatan: “Bangsa Korea Selatan itu sering terlihat kurang percaya diri, mungkin karena dalam sejarah, mereka jadi negeri yang dilintasi negara-negara lebih kuat ketika mereka saling berperang.”

Misalnya, kata Hafiz, waktu Cina mau menguasai Jepang, armada mereka melintasi, dan menguasai, Korea. Waktu keadaan berbalik, Jepang hendak menguasai Cina, lagi-lagi Korea dilintasi oleh armada imperial. Bagi kawan saya itu, sejarah demikian menjelaskan banyak hal dari Korea Selatan yang sempat jadi tempatnya bermukim mengejar S2.

Misalnya, kecenderungan konformisme masyarakatnya di satu sisi, dan kecenderungan ekspresi berlebihan dalam K-Pop –sebuah cerminan hasrat menyatakan diri dengan kuat, yang justru sukar mereka lakukan dalam keseharian mereka. Tapi, buat saya, pandangan itu juga bisa dipakai dalam menonton film Tae Guk Gi.

Ada banyak unsur yang tampak “sangat Korea” –atau lebih tepat, “sangat K-Pop”– dalam film perang yang tercatat salah satu film Korea terlaris sepanjang masa (yang jelas, yang pertama menembus angka di atas 10 juta penonton). Sebut saja, pengaturan adegan dengan dramatic pose yang kuat, gerak-gerik kamera yang melayani total dramatic pose secara penuh gaya, dan keindahan gambar yang seperti lukisan. Dan, di balik itu: sebuah kepercayaan bahwa perang adalah lancung.

Mungkin, pengalaman historis diinjak-injak sebagai perlintasan perang dua negeri besar, menyumbang pada semangat yang terlihat di Tae Guk Gi: perang adalah sebuah Hewan (the beast) yang menghancurkan nilai tertinggi di dalam masyarakat Korea Selatan, yakni nilai kekeluargaan. Bahwa bangsa Korea selalu terjepit oleh kelakuan hewani negara lain yang dengan ambisi angkara mereka membuat Korea berai dan luluh lantak.

Tentu saja, Tae Guk Gi, secara kasat mata, bicara atau bercerita soal hubungan Korea Selatan dan Korea Utara. Tapi, itu bahan pembicaraan lain. Mari kita bicara soal perfilman Korea.

 

 

Sedikit Soal Perfilman Korea Selatan

Sebetulnya, sejarah perfilman Korea (yang dalam percakapan umum hampir selalu berarti “Korea Selatan”) sudah cukup panjang –hampir sepanjang sejarah film Jepang (memang dimulai pada saat pendudukan Jepang). Masa golden age perfilman Korea adalah era 1950-an hingga 1960-an.

Tapi, perjumpaan pertama saya dengan film Korea secara pribadi justru dengan sebuah bibit kebangkitan film Korea Selatan saat ini: Chilsu & Mansu (1988), karya Park Kwang-su. Ini sungguh tak sengaja. Gara-gara ada pekan film Korea Selatan di awal 2000-an, kalau tak salah. Karena saya buta sama sekali soal film Korea waktu itu, saya memilih beberapa film secara acak.

Dan satu-satunya film Korea yang tertancap dalam ingatan, adalah film Chilsu & Mansu tersebut. Terutama karena kelokan luar biasa setelah selama ¾ panjang film jalan cerita hanya kehidupan sehari-hari yang memikat, dan memberi intipan yang asyik tentang “apa itu Korea Selatan masa kini” serta hubungan persahabatan yang lucu dan realistik. Tahu-tahu, di bagian akhir, filmnya jadi “besar” –kedua sahabat itu disangka akan bunuh diri, dan jadi berita nasional.

Film itu ternyata adalah tonggak penanda meluruhnya keketatan sensor film di Korea Selatan. Film itu, bagi warga dan negara Korea Selatan, dipenuhi komentar sosial yang tajam atas watak otoriterianisme Korea Selatan waktu itu. Saya sebagai penonton yang juga “orang luar” terkesan juga oleh sisipan komentar-komentar sosial dalam film itu –tapi saya luput menangkap seberapa tajam ternyata komentar-komentar tersebut.

Di Korea, film dan politik ternyata memang punya perselingkuhan yang dalam. Tony Ryan, kritikus Sight & Sound, pernah bercerita bahwa wacana reformasi di Korea Selatan justru tumbuh pertama kali secara kuat di majalah atau jurnal perfilman Korea Selatan yang jadi simpul berbagai komunitas dan pemikir kritis Korea. Bukan hanya dari simpul itu lahir gerakan estetika yang berpengaruh terhadap perfilman Korea Selatan, tapi juga terbangun habitat intelektual kritis yang memengaruhi gerakan sosial-politik di sana.

Chilsu & Mansu jadi sebuah model film berkesadaran sosial. Terbukti, hadirnya kesadaran sosial dalam film-film dengan model demikian justru mencipta sebuah keterlibatan masyarakat jadi penonton film-film mereka sendiri: masyarakat Korea Selatan yang perlahan sedang berproses mereformasi diri jadi lebih demokratis dan lepas dari rezim militer seakan mendapatkan suara mereka di dalam film-film tersebut.

Ketika proses reformasi itu semakin matang, rezim militer sudah tumbang, dan negara bisa konsentrasi dalam membangun sebuah Korea Selatan “baru” yang maju, evolusi penonton dan filmnya pun semakin condong pada sebuah model industri film yang saat ini kita kenal.

Salah satu arah evolusi itu adalah adaptasi perfilman Korea Selatan atas model industri Hollywood. Film Shiri (1999) karya Kang Je-gyu jadi tonggak film pertama Korea Selatan dengan model big budget ala Hollywood (production value yang slick, bujet besar untuk mendapat jumlah penonton besar). Dan terbukti laris. Kang Je-gyu kemudian lebih sukses lagi dengan Tae Guk Gi.

Toh, pengaruh estetika “film berkesadaran sosial” tetap merembes ke dalam film-film berbujet besar dan serba-komersial di sana. Juga ke dalam film-film yang dirancang untuk jadi Art House Cinema, macam film-film Kim Ki-Duk, walau tentu kehadiran komentar sosial tersebut dalam “film-film artistik” terasa lebih disublimkan.

Secara sederhana, kita bisa memandang bahwa film-film Korea angkatan pasca-reformasi tersebut mengandung hasrat yang kuat untuk menarasikan bangsa. Sebetulnya, hasrat demikian tak aneh benar. Paling tidak, di paruh pertama abad ke-20, di “zaman ideologi”.

Yang menarik, dalam perfilman Korea, hasrat itu muncul di dalam sebuah era pasca-nasional dan hadir cukup keras kepala dalam moda industri perfilman yang sangat komersial. ***